AJU, AITA & AMA....AMAKANIE...!!!

12 October 2008

Lembaga Penggerak Ekonomi Rakyat

29 Februari 2008 02:33:15
Pada tahun 1970-an, bisnis pengelolaan kayu mulai merambah hutan di Provinsi Papua. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya ijin pengusahaan hutan di Papua sebanyak 65 yang melibupti areal seluas 11,6 ha antara tahun 1970 s/d 2005. Tetapi dalam kurun waktu tersebut, masyarakat pemilik hak ulayat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hutan, tidak mendapatkan manfaat yang berarti dari hasil hutan mereka yang diekploitasi. Masyarakat hanya memampu menatap “logs” demi “logs” yang umurnya jauh melebih masa hidup mereka ditebang, diangkut dengan truk ke logpond dan selanjutnya diangkut dengan kapal, ke tempat yang mereka sendiri tidak mengetahuinya.Tututan reformasi dibidang pengelolaan sumber daya alam, terutama bagaimana memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk ikut sebagai “pemain”, dalam pengusahaan hasil hutan terutama hasil hutan kayu, seperti tertuang dalam pasal 28 & 29 UU No : 41/1999, yang memberikan kesempatan kepada perorangan atau badan dalam bentuk koperasi agar ikut terlibat dalam pengelolaan hasil hutan (kayu). Pasal 28 & 29 UU No 41/1999, ini memberikan inpirasi kepada pemerintah melalui Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil akhirnya menandatangai kesepakatan kerjasama dengan menteri kehutanan dan perkebunan melalui Surat No 01/SKB/M/IV/1999 dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 234/KPTS-IV/1999 tentang pemberdayaan koperasi dalam usaha kehutnanan (Patay, 2005). Surat keputusan ini kemudian diikuti dengan persetujuan prinsip pencadangan hutan sebagai areal perekbuanan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada tanggal 22 April 1999 seluas 10.000 ha.Dalam tahap awal ijin prinsip ini diberikan kepada 5 (lima) kopermas yang ada di Kabupaten Jayapura, masing-masing ;1. Kopermas TANG TEY, berlokasi di Nimboton Berap, Kabupaten Jayapura;2. Kopermas KUK YU, bertempat di Koya Kosa, Kabupaten Jayapura (Kini Kabupaten Keroom);.3. Koperasi MAMBEMO, berlokasi di Arso, Kabupayen Jayapura (kini Kabupaten Keroom);.4. Kopermas DWIN YEI , berlokasi di Gresi, Kabupaten Jayapura;5. Kopermas KELAI WANABHONAI, berlokasi di Puai, Kabupaten Jayapura.Setelah lahirnya lima kopermas ini kemudian diikuti dengan pembentukan berbagai kopermas. Hingga tahun 2003, diperkirakan diseluruh Papua terdapat 441 Kopermas yang bergerak di berbagai bidang (Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 2003). Khusus untuk kopermas yang bergerak dibidang pengelolaan hutan, hingga pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 200 kopermas yang telah mendapat ijin (Kompas , 20 Juli 2005). Kelemahan Kopermas di Masa LaluKebijakan pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat pemilik hak adat dalam mengelola sumber daya alamnya melalui lembaga kopermas merupakan langkah maju di era pemerintah reformasi. Hal ini disebabkan karena selama hampir 3 dasawarsa, pengusahaan hutan hanya di dominasi oleh para pengusaha besar. Ketika kebijakan ini hadir diharapkan dapat “mendongkrak”, tingkat kesejahteraan masyarakat atau anggota koperasi. Namun dalam kenyataannya setelah kebijakan ini diterapkan, nampaknya tidak ada perubahan secara signifinakan terhadap perubahan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kalaupun ada perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, maka hal ini hanya terjadi pada sekelompok elit saja. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, kesenjangan ini terjadi karena beberapa faktor antara lain ; (1). Ketika kebijakan kopermas dibuka tidak diikuti dengan pendampingan yang maksimal bagi masyarakat baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun kelompok-kelompok yang peduli terhadap pengembagan ekonomi kerakyatan. (2) . Masyarakat tidak memiliki cukup “modal” sebagai memulai usahanya. Hal ini dengan mudah dimanfaatkan oleh para pemilik modal, sehingga masyarakat sekedar mendapat fee dari hasil kegiatan ekploitasi hutan yang dilakukan. (3) Terbatasnya informasi mengenai pasaran kayu ditingkat regional maupun internasional sehingga peluang ini dimanfaatkan oleh mitra usahanya untuk menekan harga ditingkat masyarakat. (4). Terbatas pengetahuan teknis dibidang kehutanan. Keterbatas ini menjadi peluang sehingga dari sisi kubikasi dapat dipermainkan oleh para pengusaha, sehingga hal ini dapat mempengaruhi pendapatan yang semestinya diperoleh oleh masyarakat. (5). Ada indikasi proses perijinan yang cukup panjang dan memerlukan dana tambahan diluar kewajiban yang semestinya. (6). Tidak diberlakukannya prinsip-prinsip kopermasi sebagai mana mestinya, misalnya rapat tahunan anggota yang semestinya dilakukan setiap tahun, tetapi hal ini tidak pernah dilakukan.Dari beberapa hal yang disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang sebelumnya ingin memberikan peluang kepada masyarakat pemilik hak adat, nampaknya dalam prakteknya jauh dari harapan yang diinginkan. Bahkan dalam pemberitaan dua tahun terakhir ini, terutama setelah dikeluarkannya Impres No 4/2005, tentang pemberantasan illegal logging, yang kemudian ditindak lanjuti dengan “Operasi Hutan Lestari” II, maka beberapa pengurus kopermas harus berurusan dengan pihak berwajib. Untuk itu tidak jarang Kopermas diindentikan dengan praktek-praktek “Illegal logging”. Walaupun masyarakat pemilik hak adat ini sekedar di manfaatkan oleh para pemilik modal, tetapi akhirnya mereka yang menanggung dampak dari praktek pengusahaan hutan di wilayah mereka, baik yang berkaitan dengan kerusakan ekologi, sosial budaya dan bahkan kerugian ekonomi.

No comments: