Senin, 27/10/2008 04:56 (GMT+9.5)
Selain Korupsi dan Kolusi, salah satu unsur penting yang ingin dibasmi di era reformasi adalah Nepotisme. Ironisnya menjelang Pemilu 2009, mereka – mereka yang menganggap diri sebagai tokoh - tokoh reformis malah "mewariskan kekuasaan" (baca : nepotisme ) melalui partai, kepada keluarga dan krini – kroninya.
Kecenderungan menempatkan suami, istri, anak, ipar atau keponakan merupakan gejala politik yang akrab terjadi pada era Orde Baru bahkan mungkin masa sebelumnya. Di era kekuasaan Soeharto, mantan presiden itu mengangkat putrinya sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan ditunjuk sebagai menteri. Seorang pengusaha dekatnya ditunjuk sebagai anggota kabinet. Di era yang sama, beberapa sanak keluarga pejabat atau tokoh ditunjuk menjadi anggota MPR utusan golongan, karena sistem politik Orde Baru memberikan peluang untuk itu. Era Orde Baru akhirnya tumbang di tangan mahasiswa. Perilaku politik Orde Baru lalu meninggalkan isu kroniisme dan nepotisme sebagai isu politik sentral dalam panggung politik era reformasi. Menurut Profesor Syamsuddin Haris (Riset Ilmu Politik LIPI) - Nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi kekuasaan politik tertentu, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. (Kompas, 20 October 2008) Jika kita diamati fenomena politik jelang Pemilu 2009, sejumlah partai politik masih menerapkan pola kekeluargaan "ala Orba" dalam perekrutan tokohnya, baik dalam penentuan calon wakil rakyat maupun jabatan politik lainnya. Bahkan, politik kekeluargaan itu kini mengarah pada dinasti karena munculnya generasi ketiga atau cucu tokoh dalam penentuan jabatan politik, khususnya pencalonan anggota parlemen.
Mencermati Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR, dua cucu mantan Presiden Soekarno, Puan Maharani dan Puti Guntur Soekarnoputri, menjadi calon anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). PDI-P juga menempatkan Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno dan ibu Puan, sebagai calon presiden untuk Pemilu 2009. Selain itu, sejumlah anggota keluarga Megawati juga menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari PDI-P.
Sukmawati Soekarno, adik kandung Megawati, yang memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme juga menjadi caleg untuk Daerah Pemilihan Bali. Sejumlah politisi lainnya juga menempatkan kerabatnya sebagai caleg. Bukan itu saja, Edy Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY); Dave Laksono, putra Wakil Ketua Umum Partai Golkar ditempatkan di elite partai pada posisi nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan aktivis partai yang "berkeringat" serta berjuang dari bawah.
Khawatir
Merebaknya Politik Nepotisme yang akan menciptakan peluang dinasti politik dalam tubuh partai telah memunculkan kekhawatiran terhadap praktek Politik jenis ini, karena dapat mengebiri perkembangan politik di negeri ini. Menurut Profesor Syamsuddin Haris, salah satu dampak dari nepotisme politik dalam proses rekrutmen politik adalah tidak kunjung melembaganya partai sebagai sebuah organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga menjadi perangkap berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai-partai. Implikasi lain dari menguatnya nepotisme dalam rekrutmen politik adalah semakin melembaganya praktik korupsi politik dalam arti luas. Apabila para elite terbiasa mengambil hak politik para kader dan aktivis partai, yang menjadi korban berikutnya adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas dana publik, seperti marak dalam sejumlah kasus mutakhir.
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Arbi Sanit : "Politik dinasti, politik klik, harus ditolak. Ketika perangkat demokrasi belum berfungsi akan terjebak pada konflik kepentingan atau penyalahgunaan kewenangan,"
Menurut dia, politik dinasti juga banyak terjadi di negara yang sudah lama menjalankan sistem demokrasi, seperti di Amerika Serikat atau India. Namun, yang menjadi persoalan adalah belum adanya kriteria dan standar prosedur seleksi pejabat negara yang benar- benar obyektif dan lemahnya kontrol di negeri ini. "Kontrol anggaran tidak berjalan, etika politik tidak berjalan, oposisi juga tidak berjalan. Semua dapat diterobos oleh dinasti," paparnya. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ichlasul Amal berpendapat, banyaknya keluarga pemimpin partai atau mantan penguasa yang terjun ke dunia politik lebih didorong oleh faktor pragmatisme, bukan ideologi. Hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan partai dan pendidikan politik nasional. (Media Indonesia - 21 Oktober 2008) Suatu hal yang memberikan gambaran jelas kepada kita semua tentang masalah pengkaderan dalam Parpol yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, akhirnya para petinggi Parpol menggunakan cara instan untuk mengapai kursi didewan dan mengawinkannya dengan strategi "aji mumpung".
Tanggapan
Memang, Politik Nepotisme atau politik dinasti ini bukan hanya milik Indonesia saja. Di negeri kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat, sering disebut klan John F Kennedy, George Bush, dan Bill Clinton sebagai pelaku nepotisme. Di Asia acapkali dicontohkan keluarga Nehru yang melahirkan Indira Gandhi serta anak dan menantu Gandhi yang terjun ke politik, sementara di Pakistan ada keluarga Ali Bhutto yang melahirkan Benazir Bhutto dan kini suami serta anaknya juga turut berkiprah dalam politik. Kecenderungan hampir sama terjadi di Filipina, Thailand, Banglades, dan beberapa negara lain. (Kompas, 20 October 2008)
Sehingga beberapa hari lalu dari Subang, Jawa Barat, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri berharap majunya anak atau keluarga petinggi parpol pada Pemilu 2009 jangan selalu dilihat dari sisi negatif. Pandangan itu bisa mencegah pembentukan kader bangsa. Dinasti politik juga ada yang baik, seperti keluarga Kennedy di Amerika Serikat atau Nehru di India.Ia menyebutkan, putrinya, Puan Maharani, seperti bersekolah di partai. "Ia mengikuti saya dari peristiwa Kongres Luar Biasa PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 1993. Saat peristiwa 27 Juli 1996, ia juga ikut membantu dapur umum di Kebagusan," papar Megawati.
Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla juga menegaskan, tak ada dinasti dalam kehidupan partai di Indonesia. Yang ada justru pengaruh keluarga kepada tokoh tertentu. "Seperti pengusaha, anaknya juga cenderung menjadi pengusaha. Tentara juga demikian karena anaknya berada dalam lingkungan militer. Jadi, jika anak Agung Laksono (Ketua DPR), yakni Dave, jadi anggota DPR, itu karena lingkungannya setiap hari ia mendengar omongan politik. Semakin lama, ia tentu akan tertarik dengan politik," ujarnya.Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Jabar Ahmad Kurdi Moekri menyatakan, sejumlah caleg keluarga tokoh partainya adalah kader berkualitas. Mereka masuk dalam bursa caleg tidak berbekal nama besar orangtua atau kerabatnya, tetapi karena aktivitas mereka masing-masing.Hanya Ketua Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudoyono yang berani mencoret anaknya dari Daftar Caleg DPR RI, suatu contoh yang patut ditiru.
Rakyat
Fenomena Politik nepotisme telah memancing berbagai tanggapan, namun suatu hal yang perlu diingat adalah dalam sistem politik demokrasi sekarang ini, kita tidak ingin menutup hak politik para kerabat tokoh politik yang berkuasa untuk muncul dalam panggung politik. Karena apa pun, dalam sistem demokrasi, hak untuk berpolitik dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia. Hal itu juga tercantum dalam International Covenant Civil and Political Right yang telah diratifikasi pemerintah. Sekarang saatnya rakyatlah yang menentukan pilihannya dalam pemilu mendatang apakah calon – calon yang "berbau" nepotisme tersebut benar-benar berkompoten atau hanya membonceng nama besar orang tua atau keluarganya ?.
Oleh: Fredrik Wakum. Penulis adalah Koordinator Kompartemen Pendidikan & Politik LIRA (Lumbung Informasi Rakyat) Kabupaten Mimika
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment