JAKARTA - Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) benar-benar memperlihatkan sikap keras akibat ketidakpuasannya terhadap pengesahan RUU Pornografi.
Bersama dengan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) -yang juga kecewa atas pengesahan RUU Pornografi-, fraksi kedua terbesar setelah Fraksi Partai Golkar di DPR itu sesegera mungkin berencana melakukan judicial review (uji materi) UU baru tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kabarnya pula, sejumlah lembaga swadaya masyarakat akan bergabung dalam barisan penentang UU Pornografi.
' 'Kami sudah mempunyai materi dan alasan-alasan mengapa kami mengajukan itu,'' tegas Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo kemarin (30/10) di gedung DPR saat keluar (walk out) dari sidang paripurna pengesahan RUU Pornografi bersama seluruh anggota FPDIP.
Menurut Tjahjo, poin-poin yang akan digugat adalah sejumlah pasal terkait definisi, peran serta masyarakat, dan beberapa substansi yang lain. ''Masalahnya bukan pornografinya, tapi isinya. Pasalnya banyak yang tidak clear, bahkan tumpang tindih dengan KUHP dan UU Perlindungan Anak,'' terangnya.
Selain itu, hingga kini, sejumlah daerah, seperti Bali, Sulawesi Utara, Papua, dan Daerah Istimewa Jogyakarta, menolak pengesahan RUU tersebut. PDIP khawatir, pengesahan RUU Pornografi rentan terhadap ancaman disintegrasi nasional. ''Fraksi kami merasa prihatin dengan kondisi masyarakat di daerah yang masih terbelah (dengan pengesahan RUU Pornografi, Red),'' tegasnya.
Fraksi Partai Damai Sejahtera juga mendukung judicial review UU Pornografi ke MK. Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu mengatakan, UU tersebut nanti memunculkan sejumlah masalah karena secara konstitusional masih lemah. Khususnya masih ada penolakan dari sejumlah daerah yang belum tersentuh sosialisasi. ''PDS mendukung jika ada masyarakat melakukan judicial review,'' tandasnya.
Ketua Fraksi PDS Carol Daniel Kadang menjelaskan, setelah mengikuti pembahasan di tingkat panitia khusus (pansus) dan mencermati secara teliti RUU tersebut, pada hakikatnya definisi dan uraian mengenai pornografi dalam RUU masih kabur. Bahkan, sangat memungkinkan terjadinya multitafsir. ''Apakah (RUU Ponografi, Red) benar demi menyelamatkan moralitas bangsa dan melindungi perempuan?'' tanyanya.
Selain itu, pemberlakuan standar moral tunggal atas realitas dan politik serta budaya Indonesia yang plural adalah langkah mundur. Karena itu, kehadiran RUU Pornografi menjadi kesulitan besar yang akan dihadapi bangsa ini di bidang hukum akibat munculnya kemungkinan tafsir baru atas realitas atau satu peristiwa.
FPDS kemarin juga mengikuti langkah politik FPDIP. Dipimpin Ketua Fraksi Carol Daniel Kadang, mereka meninggalkan (walk out) sidang paripurna sebagai protes atas pengesahan RUU Pornografi menjadi UU Pornografi.
Setelah gagal mendesak pimpinan sidang untuk menunda pengesahan RUU tersebut, anggota FPDIP dan FPDS meninggalkan sidang dan keluar ruangan.
Namun, sidang paripurna tetap dilanjutkan. ''Kemarin (29/10) rapat konsultasi pengganti bamus (badan musyawarah, Red) telah menyepakati pengambilan keputusan hari ini. Karena itu, kita sepakat melanjutkan paripurna,'' ujar pimpinan sidang Agung Laksono merespons permintaan dari Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo.
Sejurus kemudian, 60 anggota FPDIP yang hadir dalam sidang paripurna keluar dari ruang rapat. Disusul empat orang anggota FPDS yang juga memilih walk out.
Ada hal menarik terkait sikap walk out FPDIP dan FPDS. Ternyata dua anggota Fraksi Partai Golkar asal Provinsi Bali juga ikut walk out. Mereka adalah Gde Sumarjaya Linggih dan Nyoman Tisnawati Karna. Padahal, Fraksi Partai Golkar justru mendukung pengesahan RUU Pornografi.
'' Saya minta pengsahannya ditunda. RUU ini terlalu dipaksakan. Baru tadi malam dibicarakan dan sekarang disahkan,'' kata Tisnawati saat menginterupsi rapat paripurna.
Sementara itu, di balkon pengunjung dipenuhi simpatisan dari kelompok masyarakat antipornografi. Mereka mengikuti rapat mulai awal hingga palu diketok untuk pengesahan RUU. Suasana sidang menjadi lebih ramai ketika para simpatisan tersebut menyambut dengan tepuk tangan setiap fraksi yang mendukung pengesahan RUU Pornografi. Dukungan juga datang dari puluhan pendemo di luar pagar Senayan.
Sementara itu, sejumlah daerah dan elemen masyarakat di Indonesia sedang mempersiapkan uji materi terhadap UU tersebut. Misalnya, Sulawesi Utara, Riau, Toli-toli, termasuk sejumlah kelompok adat dari Aliansi Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika (AMBTI). Selain itu, masih ada kelompok gay, lesbian, dan biseksual yang juga akan mengajukan gugatan judicial review ke MK. Mereka berpendapat bahwa penjelasan pasal 4 UU itu disebutkan bahwa persenggamaan homoseksual adalah penyimpangan perilaku seks. (cak/mk)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment