AJU, AITA & AMA....AMAKANIE...!!!

29 October 2008

Perlukah Menurunkan Harga BBM?

Rabu, 29/10/2008 03:21 (GMT+9.5)
Krisis finansial di AS ternyata lambat laun memberikan dampak negatif kepada Indonesia. Sejak Jumat malam (24/10), beberapa indikator ekonomi nasional mulai mengkhawatirkan karena telah ''melenceng'' dari prediksi awal. Pertanyaannya sekarang, apa yang harus kita lakukan?
Jelas sudah tiga indikator ekonomi Indonesia telah dirasuki ''hantu'' krisis finansial global. Pertama, kurs rupiah terhadap dolar AS yang menembus level psikologis Rp 10.000. Sore kemarin, bahkan, sempat tembus Rp 11 ribu. Kedua, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor terendah dalam dua tahun terakhir. Ketiga, suku bunga perbankan yang naik tajam membuat laju sektor riil tersendat.
Satu Kesatuan
Secara teori, ada critical point terhadap antisipasi krisis yang telah dilakukan pemerintah. Dalam kondisi ekonomi nasional yang diguncang krisis (atau menjelang krisis), seharusnya tingkat suku bunga lebih rendah agar sektor finansial terlepas dari dampak krisis (Adrian dan Shin, 2008). Tapi, ironisnya, BI rate terus dikerek naik menjadi 9,5%, sementara bank sentral negara lain malah ramai-ramai menurunkan tingkat suku bunga sesuai dengan saran Adrian dan Shin.
Adrian dan Shin mengingatkan bahwa dalam sistem finansial yang bertumpu pada mekanisme pasar, maka perkembangan perbankan dan pasar modal merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisah. Sehingga, tingkat BI rate terbukti penting dalam meningkatkan neraca bank dan biaya modal.
Dengan kata lain, krisis likuiditas yang dialami perbankan saat ini ikut memperhebat risiko sistemik di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sehingga pada penutupan Jumat malam (24/10), IHSG merosot sangat dalam sebesar 92 poin (6,91 persen) menjadi 1.245.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa rupiah ikut-ikutan anjlok terhadap dolar AS? Rupiah yang menembus Rp 10.005 per dolar AS dipicu banyaknya aliran dana asing yang keluar dari Indonesia. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Depkeu (21/10), kepemilikan asing di Surat Utang Negara tinggal Rp 97,31 triliun, turun 7,75% dibandingkan posisi di awal bulan.
Beberapa indikator ekonomi yang memburuk tersebut, dari kurs rupiah, IHSG, hingga tingkat suku bunga, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Satu indikator memburuk segera menular ke indikator lainnya.
Misalnya, begitu rupiah dirubung sentimen negatif, maka akan banyak investor asing yang melakukan net sell di BEI karena khawatir terhadap risiko investasi di emerging market yang semakin meningkat karena banyaknya kolektor dolar AS. Sebaliknya, anjloknya IHSG di pasar bursa saham memicu para investor berlomba-lomba menyelamatkan sisa uang yang dimilikinya untuk ditukarkan dengan dolar AS.
Antisipasi
Antisipasi apa yang harus kita lakukan agar tsunami krisis finansial tidak menghancurkan kita?
Tampaknya, di tengah-tengah memburuknya kondisi perekonomian kita, ada ''oase" yang sangat menggembirakan, yaitu turunnya harga minyak dunia menjadi USD 69 per barel. Ada yang menduga fenomena ini disebabkan kurs dolar AS yang menguat terhadap Euro. Penguatan itu membuat para investor melakukan aksi jual minyak mentah dan komoditas berbasis dolar.
Satu lagi yang membuat harga minyak dunia melemah adalah bertambahnya cadangan minyak dunia. The Economist mengumumkan, Brazil telah resmi menemukan cadangan minyak yang amat besar, hingga 200 miliar barel.
Majalah itu bahkan menyebut Brazil segera menjadi the next giant berkat temuan cadangan minyak raksasa tersebut. Bila angka itu benar, Brazil hanya kalah dibandingkan Arab Saudi dalam hal cadangan minyak yang sudah diketahui (proven reserves).
Kombinasi menguatnya dolar AS dan cadangan minyak Brazil tersebut akan bermuara pada penurunan harga minyak. Meskipun OPEC telah memutuskan untuk memangkas produksinya 1,5 juta barel per hari, harga minyak diprediksi tetap melemah karena kuatnya intervensi dolar AS dan melubernya cadangan minyak dunia.
Berdasarkan interaksi berbagai indikator tersebut, bisa disimpulkan bahwa sudah waktunya pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai salah satu antisipasi menghadapi krisis global yang mulai menggempur kita.
Dengan penurunan harga BBM, diharapkan daya beli masyarakat pulih dan efektif mendongkrak perekonomian nasional yang lesu darah akibat krisis finansial.
Ketika menaikkan harga BBM akhir Mei lalu, pemerintah berpatokan pada harga minyak mentah dunia USD 95 per barel. Seandainya dalam seminggu ini harga minyak mentah dunia masih bertahan di kisaran USD 60 sampai USD 69 per barel, pemerintah sudah waktunya menurunkan harga BBM.
Sebab, dulu pemerintah menggunakan argumentasi kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional sebagai legitimasi mengerek harga BBM. Nah, saat harga minyak mentah dunia turun seperti saat ini, legitimasi apa lagi yang cocok dipakai sebagai argumentasi kepada masyarakat kalau bukan dengan menurunkan harga BBM.
* Oleh: Didik Siswantono, Manager Small Business PT BNI (Persero) Tbk. di Jakarta

No comments: