By Lakius Peyon
Dec 9, 2005, 06:52
Jika berbicara jujur dengan hati nurani yang mendalam, sesungguhnya berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di tanah ini berawal dari perbedaan pandangan sejarah politik antara Papua dan Jakarta. Sebagian masyarakat Papua memandang dirinya sebagai sebuah negara yang pernah merdeka. Sementara Indonesia memandangnya sebagai sebuah tindakan separatisme, karena itu harus diperhadapkan pada kekuatan negara.
Indonesia dengan slogan NKRI nya dari Sabang sampai Merauke, tidak mau kalau kelompok Papua Merdeka mengungkit-ungkit masalah masa lalu sebagai upaya pembenaran untuk mempertahankan ideologinya. Untuk itu, kelompok tersebut harus dibubarkan atau diberantas dengan kekuatan POLRI dan TNI maupun dengan kekuatan hukum. Sementara Papua dengan keyakinannya sebagai sebuah negara yang pernah merdeka pada 44 tahun silam, selalu merayakannya dengan mengibarkan bendera bintang kejora setiap tanggal 1Desember.
Jadi masing-masing pihak merasa diri paling benar tanpa ada pihak yan mau mengalah. Belum tahu, siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi pasti kebenaran sejarah akan membuktikannya. Nah untuk itu sebaiknya, harus mencari solusi alternatif. Sebab jika tidak nyawa manusia selalu jadi taruhan. Sebut saja kasus Biak berdarah, Wamena berdara, Merauke berdarah, dan Nabire berdarah sampai terakhir bentrokan di lapangan Trikora 1 Desember tahun lalu.
Memang sesuatu yang tak gampang untuk menyatukan perbedaan ideology. Karena itu, wajar saja, ideology harus dibayar dengan harga yang mahal. Namun demikian, satu pertanyaan yang perlu dijawab oleh setiap anak negeri di tanah ini bahwa, sampai kapan nyawa orang Papua terus berjatuhan? Apakah harus mati sampai mempertahankan bintang kejora, atau kah menaikan bintang kejora, Papua bisa langsung merdeka? Itu sesuatu yang mustahil. Untuk menuju kesana butuh proses, maka itu hanya orang sabar dapat melihat kebenaran sejarah itu.
Ingat, menaikan dan menurunkan bintang kejora sudah terlalu banyak dilakukan. Dibunuh karena mempertahankan bintang kejora pun tak bisa dihitung. Bayangkan saja, berapa kali bintang kejora berkibar sejak tanggal 1 Desember itu sampai sekarang. Mengapa saat bendera dinaikan kemerdekaan tak kunjung datang, yang ada hanya pembunuhan, penyiksaan dan penahanan. Maukah anak negeri ini disiksa terus hanya karena kasih naik, kasih turun sang fajar itu.
Lalu siapa yang nanti bertanggungjawab terhadap kematian anak-anak negeri ini? Siapa juga yang bertanggungjawab terhadap janda dan anak-anak yatim piatu yang ditinggalkan. Pemerintah Indonesia.
Jangan mimpi dulu. Buktinya pengadilan kasus HAM Papua hasilnya hanyalah sandiwara belaka. Lagi pula kekuatan politik lebih dominan dibanding hukum. Jadi tentu tak mungkin. Mau menaikan bendera sampai seribu kali atau dibunuh seribu orang saat mempertahankan bintang kejora pun, Papua tak mungkin merdeka. Sementara bintang kejora bagi orang Papua merupakan harga diri. Ia juga sebagai bendera kebesaran bangsa Papua. Maka itu, sebaiknya tak boleh main-main. Artinnya jadikanlah bintang kejora sebagai tujuan akhir dari perjuangan pengakuan kemerdekaan Papua, karena menuju kearah itu tidak hanya satu jalan. Menuju ke sana dengan jalan apapun pasti akan ketemu sang kejora itu juga.
Tak ada yang salah, hanya ketika budaya pengibaran bendera diganti dengan ibadah bersama pada anggal 1 Desember kemarin di seluruh pelosok negeri ini tak terdengar berita “miring” apapun. Justru pihak pemerintahpun mengijinkankan kegiatan itu dapat dilangsungkan. Hal itu tentu menjadi satu kebanggan seluruh rakyat di tanah ini. Karena tak ada lagi air mata yang harus ditumbahkan di tanah leluhur sendiri Namun satu hal yang tak perlu lupa bahwa, nilai kehadiran masa saat itu tak berbeda dengan saat pengibaran bendera. Semua orang tahu, kehadiran masa hanya untuk merayakan hari “kemerdekaan” Papua.
Walau demikian, satu hal yang patut disayangkan yaitu mengapa massa otonomi khusus ini, ketika bintang kejora dikibarkan masih harus ada pemimpin aksi yang di hukum. Bukankah dalam UU No.21 Tahun 2001 menyatakan perlu adanya lambang cultural orang Papua. Ataukah karena tidak ada Perdasus yang mengatur soal itu sehingga bintang kejora dianggap illegal. Kalau begitu, penilaian terhadap keaslian orang papua bagi calon gubernur dan wakil gubernur beberapa waktu lalu juga illegal karena tak ada perdasus mengatur soal itu.***
(Sumber: Tabloid Suara Perempuan Papua No. 18, Tahun II, 5 – 11 Desember 2006)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment