JAYAPURA-Mencuatnya wacana tentang rencana penggunaan microchip yang dimasukkan dalam Draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang Penanggulangan HIV-AIDS di Papua, terus menuai protes. Tidak hanya mendapat penolakan dari KPA Provinsi Papua, tapi juga ditentang aktivis AIDS dan orang yang terinfeksi AHIV-AIDS atau ODHA (orang dengan HIV/AIDS).
Dua ODHA yang ditemui secara terpisah secara terang-terangan menolak recana itu. Seperti diungkapkan Wesli K, salah seorang ODHA. "Kami punya hak untuk tidak menggunakan itu, sebab itu justru akan menambah diskriminasi, karenanya kami menolak dan masalah microchip itu tidak perlu dimasukkan dalam Perdasi," tutur Wesli saat ditemui di Pondok Christami, kemarin.
Orang terinfeksi HIV lainnya, Enita R yang merupakan Ketua Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTI) juga menolak wacana penggunaan microchip itu. "Kami menolak penggunaan microchip, termasuk penandaan-penandaan lainnya terhadap orang yang terinfeksi, karena itu akan menambah diskriminasi," tandasnya sambil menegaskan bahwa semua rekan-rekannya yang terinfeksi juga menolak microchip itu.
Penolakan yang sama juga datang dari para pendamping atau aktivis AIDS. Mereka adalah masing-masing, Kepala Pondok Christami, Johns P. Kusmawan, Direktur Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) T Butarbutar dan Koordinator Jayapura Suport Group (JSG) Kota Jayapura Robert Sihombing, S.Sos. Intinya mereka tidak setuju jika rencana ini dipaksakan, karena dianggap tidak manusiawi dan melanggar prinsip-prinsip penanganan orang dengan HIV/AIDS.
"Kami tidak setuju, karena microchip akan diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Lalu bagaimana untuk orang-orang yang belum tes HIV tetapi sudah memasuki masa jendela (periode 0-6 bulan) dan masa asimtomatik (tidak bergejala yaitu periode 2-10 tahun). Mereka secara otomatis merupakan sumber penularan HIV," tutur Johns P Kusmawan saat ditemui Cenderawasih Pos di Pondok Christami, yang beralamat di Jalan NKRI No 33 Macan Tutul Dok V Atas, Jayapura.
Menurutnya, apabila diketahui bahwa seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, maka seorang konselor akan membimbing untuk terjadinya sebuah perubahan perilaku. "Kemudian yang terinfeksi itu akan didampingi oleh LSM-LSM yang bergerak di bidang HIV dan AIDS, dengan demikian akan terjadi perubahan perilaku. Sebab diajarkan bagaimana pola hidup yang sehat dan benar, yang sesuai dengan etika dan ajaran-ajaran norma agama. Sekarang permasalahnnya, bagi orang yang terinfeksi akan dipasang microchip, lalu bagaimana bagi orang-orang yang di masa jendela dan dimasa asimtomatik tadi. Padahal itu yang paling berbahaya, karena mereka tidak tahu di dalam tubuhnya ada virus HIV," terangnya.
"Saya sebagai orang yang mendampingi teman-teman yang terinfeksi virus HIV, saya sangat tidak setuju dan menolak microchip dimasukkan dalam Perdasi," tegasnya.
Sementara aktifis AIDS lainnya, T. Butarbutar yang merupakan Direktur Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) saat dimintai komentarnya menyatakan, pihaknya sudah sejak dulu menolak microchip. "Saya menolak karena sudah menjadi prinsip universal, artinya sudah ada kesepakatan dunia dan di belahan dunia mana pun tidak ada diberlakukan microchip. Resolusi PBB sudah mempertegas bahwa penghormatan terhadap orang yang terinfeksi HIV itu jauh lebih penting dalam upaya untuk memberdayakan. Sehingga bisa berdampak untuk mengurangi stigma dan diskriminasi," tuturnya.
Jika diberlakukan microchip itu maka akan ada diskriminasi antara orang yang sehat dengan orang yang terinfeksi. 'Mengapa demikian, karena orang yang sehat belum tentu dia tidak terinfeksi. Kelihatannya sehat, tetapi dia tidak tahu kalau dia sudah terinfeksi, sebab dia tidak memeriksakan diri. Kalau yang diberlakukan microchip itu kepada orang yang terinfeksi, berarti ini jelas-jelas telah terjadi diskriminasi yang sangat kuat dan otomatis tidak memberdayakan, tetapi memperdayakan artinya kalau memperdayakan berarti menjadikan dia sebagai objek. Kita bayangkan saja kalau dipasang microchip pasti akan mendatangkan fasilitas. Akan memasang satelit, berarti uang begitu banyak dan berarti hal itu tidak menyelesaikan masalah," ujarnya.
Menurutnya, upaya yang menyelesaikan masalah adalah bagaimana melibatkan orang yang terinfeksi di dalam proses penyadaran perubahan perilaku. "Bagaimana didampingi, diberikan dukungan dan diberdayakan dalam kapasitasnya. Kalau sudah terinfeksi, dia ingin produktif, disitulah dia dilibatkan supaya dia bisa menyampaikan informasi ke orang lain bahwa virus itu sangat berbahaya dan menyampaikan ke orang lain agar merubah perilaku yang beresiko menjadi tidak beresiko," terangnya.
Sedangkan Robert Sihombing yang juga penanggungjawab rumah singgah ODHA ( orang dengan HIV-AIDS) JSG Abepura, mengatakan pembahasan Raperdasi pencegahan HIV/AIDS belum melibatkan stacholder yang ada, baik Dinas Kesehatan Provinsi, KPA Provinsi, Lembaga Agama, Lembaga Adat, LSM dan elemen masyarakat lainnya.
" Kami kurang setuju dengan pemberlakuan penggunaan Microchip pada ODHA, karena kurang manusiawi dan bertentangan dengan prinsip-prinsip penangganan orang terinfeksi HIV," ujar Robert Sihombing kepada Cenderawasih Pos, kemarin.
Berdasarkan kajian dan analisa, penggunaan Mircoship bagi pengidap HIV-AIDS itu kurang efektif. Sebab, penggunaan alat itu bukan subtansi dalam upaya penangganan dan pencegahan HIV/AIDS. Yang terpenting lagi masalah tersebut jangan dipolemikkan berapa pengidap HIV di Papua.
Tapi persoalannya adalah bagaimana masalah HIV-AIDS di Papua ini ditangani secara komprehensif, bukan secara parsial (sepotong-potong). Ketika ada orang ditemukan telah pengidap HIV-AIDS, bagaimana langkah pengobatan dan perawatannya hingga sampai kematianya nantinya.
" Saya pikir ini yang terpenting yang harus dijadikan suatu layanan terpadu, tidak hanya sebatas mengungkap atau menemukan kasus-kasus HIV-AIDS setelah itu dibuang ke masyarakat tanpa ada penangganan yang jelas," ujarnya.
Berkaitan dengan Microchip sendiri menurut Robert, itu merupakan buah dari diterimanya informasi yang salah atau bias terhadap masyarakat termasuk anggota dewan sendiri. Sebab, setelah dikonsultasikan kepada ODHA, mereka menangis dan sedih atas Raperdasi tentang pengunaan Microship.
Sebab, pengunaan Microship itu sama saja mengekang kebebasan ODHA yang juga bagian dari warga masyarakat sendiri. Sebab, pengunaan Microship tersebut memiliki kesan seolah-olah ODHA itu merupakan komunitas masyarakat yang termarjinalkan (dikucilkan).
" Kamis kemarin saya dan beberapa ODHA binaan saya datang menghadap Ketua DPRP untuk memberikan masukan terkait pengunaan Microship. Apalagi sekarang ini banyak ODHA yang sudah mulai terbuka dan ingin hidup mandiri serta berdaya seperti orang lain," tandasnya.
Ditambahkan, hal mendasar dan paling penting yang harus dilakukan saat ini adalah soal bagaimana HIV-AIDS itu ditangani secara komprehensif. Sebab, untuk para ODHA mengunakan Microship jika tidak mendapat penanganan yang serius dikemudian hari.
Karena itu, keberadaan masyarakat adat, tokoh-tokoh gereja dan pemuka-pemuka agama sesuatu yang penting dalam upaya penanggulangan secara komprehensif. Harusnya sebelum ada KPA (Komisi Penanggulangan HIV-AIDS) pihak-pihak gereja dan adat mempunyai peran lebih awal sebelum KPA terbentuk. Sebab, KPA ini merupakan lembaga baru ketika ada kejadian HIV. Sebab, jika lembaga itu mampu berperan efektif di masyarakat, maka KPA tidak perlu dibentuk. " Karena, rata-rata ODHA ini berasal dari masyarakat adat, masyarakat jemaat dari kelompok gereja tertentu. Sebab, bagaimanapun juga kelangsungan hidup mereka itu ada di kelompok tersebut. (mud/fud)
29 November 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment