AJU, AITA & AMA....AMAKANIE...!!!

13 November 2008

Pers Harus Tetap Posisikan Diri Sebagai Alat Kontrol

JAYAPURA-Meski di Papua ini orang bilang sebagai daerah konflik, namun pers tetap harus taat azaz, baik yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pers maupun dalam kode etik jurnalistik. Dengan berpedoman pada dua hal ini, pers harus tetap memposisikan diri sebagai alat kontrol terhadap pemerintah.
Hal ini sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Dewan Pers, Drs. Sabam Leo Batubara saat ditanya Cenderawasih Pos seusai acara sosialisasi Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik di Hotel Relat Indah Jayapura, Kamis (13/11).
Sabam menjelaskan, dalam kaitannya taat azaz itu, pertama, pers harus meletakkan informasi itu berdasarkan fakta dan kebenaran. "Kalau ada fakta dan kebenaran yang terjadi di masyarakat, walaupun itu negatif, itu harus diungkapkan. Bahwa nantinya akan ada kalangan pemerintah yang menganggap hal itu kurang membantu integrasi, ini masukan bagi pemerintah atau para pengambil keputusan. Inilah daftar masalah tolong diperbaiki," tuturnya.
Kedua, pers selalu bertugas memberi pencerahan dan mendidik. Intinya pers mengemukakan berbagai problema di Papua, tetapi dalam mengungkapkan berbagai problema itu selalu mencerahkan bagi rakyat Papua.
Ketiga, pers sebagai hiburan dan tempat kontrol. "Ini yang sering terjadi benturan, karena pers ini harus mengontrol penguasa. Kalau pers menduga bupati menyalahgunakan jabatannya, lalu bupati melapor polisi, maka biasanya polisi lebih mendukung bupati, karena ada dana Muspida, sehingga imbalannya kalau bupati menjadi sorotan pers professional, polisi belum apa-apa sudah membela bupati. Ini persoalan yang terjadi dimana-mana," terangnya.
Menurutnya, aparat penegak hukum mestinya menggunakan temuan pers itu untuk ditindaklanjuti. "Kalau ada indikasi korupsi, mestinya indikasi itu yang dibereskan dulu.
Seperti yang terjdi di NTT, Pemred Lombok Pos diadukan oleh gubernur dan saya diundang kesana, saya bilang bagaimana ini gubernur. Ini kan masukan supaya bapak jadi baik, karena pers itu seperti anjing penggonggong, menggonggong karena serigala mau datang. Jadi jangan anjing penggonggong itu yang dimarahi," tandasnya.
Masalah kontrol ini pertaruhannya adalah rakyat, kalau pemerintah tidak dikontrol lagi, maka yang menderita adalah rakyat. "Artinya, fungsi pers di Papua harus tetap mengontrol, walaupun tetap harus haati-hati supaya tidak terkesan menghakimi. Terakhir, taat kepada kode etik, terutama kode etik yang mengatakan bahwa pers itu independen," tegasnya.
Ditambahkan, sekarang ini pers terbagi dua, ada yang masih maju tak gentar membela yang benar dan ada kelompok yang maju tak gentar membela yang bayar. "Di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan, sudah tumbuh jurnalisme kuda, isi beritanya sudah sesuai dengan pesanan si penunggang kuda, yaitu politisi busuk. Kalau boleh Cenderawasih Pos menjadi motor, tetap tenang dalam menjalankan fungsi pers. Apalagi Jawa Pos punya ombudsman," harapnya.
"Sekarang banyak tumbuh media yang aneh-aneh, tetapi hingga sekarang kelompok Jawa Pos masih menjadi market leader, seperti di Riau, Batam, Padang dan seterusnya," imbuhnya.
Sementara, anggota dewan pers, Wina Armad Sukardi saat ditanya Cenderawasih Pos tentang adanya kebiasaan polisi yang memanggil teman-teman pers untuk dijadikan saksi, pihaknya menjelaskan, dalam hal ini ada dua hal yang berbeda, yaitu antara hak tolak dan masalah dipanggil sebagai saksi. "Kalau hak tolak, wartawan berhak untuk tidak menyebut nara sumber dan keberadaan nara sumber atau wartawan hanya menceritakan apa yang ditulis saja. Kalau dipanggil sebagai saksi, maka semua warga negara mempunyai kewajiban untuk datang. Karena kalau nanti tiga kali tidak datang maka persoalannya beralih, bukan persoalan berita tetapi persoalan prosedural. Oleh karena itu ketika dipanggil sebagai saksi, menurut hukum seorang wartawan wajib datang, hanya nanti jika ditanya maka jawabannya adalah yang ada di berita. Kemudian yang dipanggil sebagai saksi adalah penanggungjawab bukan wartawan," terangnya.
Bila penanggungjawab yang datang, maka bila ditanya iapun hanya menjelaskan apa yang tertuang di tulisan. "Jadi pemanggilan sebagai saksi itu merupakan kewajiban warga negara, tetapi kalau ditanya ya hanya menjelaskan apa yang sudah ditulis," ucapnya.
Kalau panggilan bukan ke penanggungjawab atau Pempred, Wina menyatakan, penanggungjawab tetap harus datang, sebab ini masalah pemberitaan, kecuali jika masalah itu adalah masalah pidana biasa.
Pada tempat yang sama, Ketua Dewan Pers, Prof. DR. Ichlasul Amal,MA saat ditanya Cenderawasih Pos mengatakan, perkembangan pers tidak terlepas dari perkembangan ekonomi bangsa. "Kalau ekonomi Indonesia semakin membaik, maka pers akan semakin langgeng. Walau demikian memang pilihan media banyak sekali, misalnya TV local yang kian banyak. Ini suatu saingan yang paling berat untuk peenerbitan, dimana beli koran mahal, namun nonton TV tidak bayar," ujarnya.
Meski begitu, kalau di daerah yang sulit dijangkau media TV, maka koran akan semakin penting, sehingga di sini, berita koran sangat diperlukan, meski dengan harga yang tinggi akan tetap bisa dibeli masyarakat.
"Kalau dilihat tentang masa depan koran, bila di daerah yang sulit jangkauannya, koran akan tetap sangat dibutuhkan," tegasnya.
Sementara terkait kebiasaan terjadinya benturan antara idialisme dan kepentingan bisnis, kecenderungan kedepan, koran-koran ini akan dimilik oleh konglomerat. "Di Indonesia kan hanya dua yang dikatakan tidak dikuasai konglomerat, yaitu Jawa Pos Group dan Kompas Group. Harapan kita, kalau konglomeratnya itu berasal dari (orang yang biasa menangani) koran, hal itu tidak apa-apa, seperti pak Jakob maupun pak Dahlan Iskan. Mereka ini mengerti betul, tetapi kalau konglomeratnya tidak pernah tahu koran, maka konglomerat itu biasanya akan selalu mengintervesni redaksi," paparnya.
Sedangkan Pimpred Cenderawasih Pos Daud Sonny sebagai salah satu pembicara dalam sosilisasi tersebut mengatakan, ada tiga hal penting yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terkait pemberitaan atau kasus jurnalistik. Antara lain, Hak Jawab, hak koreksi dan kejajiban koreksi. Dikatakan, jika ketiga hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat pembaca, maka tidak perlu lagi ada kasus-kasus kekerasan pisik ataupun ancaman dan intimidasi terhadap wartawan. "Dan saya melihat di Papua ini masyarakat pembaca sudah mulai dewasa dalam menyikapi suatu pemberitaan yang dinilai keliru dengan memberikan hak jawab mereka,"kata Sonny yang saat itu menyampaikan materi bagaimana Pers Menanggapi Hak Jawab Pembacanya. (fud)

No comments: