Dialog Politik
By KP AMP Report
Wacana Referendum Bagi Papua Barat pada awal Juli 2005 silam sempat menjadi agenda Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berbarengan dengan sikapnya yang tegas untuk menuntaskan kasus Aceh melalui perundingan RI-GAM.
Kebocoran rahasia yang saya dapatkan dari seseorang yang berinisial (NOP) yang pada waktu pembicaraan referendum berada juga dalam Instana Negara tetapi tak bersama tim Menteri karena dia hanyalah pejabat insatansi di bawah kementerian. Pertemuan mendadak itu, Presiden SBY kemudian memanggil beberapa menteri strtegis untuk mendiskusikan masalah referendum di Papua. Katanya dalam pendiskusian itu bahwa saya (SBY) ditantang untuk selesaikan kasus Papua sebab Aceh telah menuju tahap penyelesaian damai.
Usai berdiskusi, sang Presiden kemudian memerintahkan tiga menteri terkait terjun ke Papua Barat dengan tujuan melakukan investigasi jika referendum di gelar apakah ada peluang penuh untuk suara terbanyak memihak kepada NKRI?. Usai Investigasi ketiga orang menteri tersebut; Menkopolkam-Kepala BIN dan Menkeu melaporkan hasil investigasi tersebut. Sayangnya upaya tersebut dilakukan secara tertutup, sehingga pihak pemerintahan daerah dan jajarannya tak tau kedatangan ketiga menteri ini. Protokoler pun tak ada, ibarat terjadi penyusupan saat itu.
Hasil investigasinya bahwa sekitar sembilan puluh sembilan persen (99%) orang Papua SAH ingin berpisah dari NKRI jika referendum di gelar. Laporan investigasi ini mengatakan bahwa ada tiga komponen massa rakyat Papua yang di prediksi tetap mau bergabung dengan Indonesia. Diantara Sebagian dari Etnis pendatang di Papua, Papua peranakan luar dan sebagian anak-anak para pejuang 45 dan militer aktif.
Laporan ini membuat SBY kemudian mengajak para menteri ini untuk MENGHILANGKAN IDE REFERENDUM BAGI PAPUA.
Pasca investigasi dan pelaporan ini, Rakyat Papua kemudian mengembalikan perangkat UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus. Sebuah peti jenasah bertuliskan Otsus Mati di Papua di antar ke DPRP Papua-12-15 Agustus 2005. selanjutnya di kembalikan ke Jakarta. Aksi ini merebak ke beberapa wilayah di Indonesia.
Orang nomor satu RI yang kemudian terpojokan dengan opini bahwa Aceh telah final dengan perundingan, Papua bagaimana?. Langkah selanjutnya dari penghilangan wacana referendum, SBY kemudian mencanangkan pelurusan persyaratan Otsus, dengan tegas harus terbentuk secepat mungkin perangkat MRP (Majelis Rakyat Papua). Pertentangan politik tak sehat pasca pembentukan MRP. Kado Pemekaran Irian Jaya Barat (IJB) menjadi duri dalam kinerja MRP. Berbagai perundingan dengan mekanisme rapat segitiga (Mendagri-Pihak Otsus dan IJB) tak juga menghasilkan resolusi signifikan. Kemudian dilakukan perundingan segi dua (Kubu Otsus dengan IJB) pun tak memuaskan. Masing-masing kubu tetap bersikeras bahwa apa yang terjadi dengan pemekaran atau Otsus adalah benar. Mungkin begitu….?
Situasi Berubah bakal referendum?
Bisa jadi Presiden SBY membuka otaknya dari penghilangan rencana Referendum bagi Papua. Dimana sebagaian besar elemen rakyat Jawa terus mengikuti jejak sang Presiden sampai kemana kinerjanya? Ternyata anggapannya bahwa kebijakan Impor Beras dari Vietnam merupakan bukti Susilo Bambang Yudhoyono beralih dari kecintaanya terhadap orang Indonesia. Sempat deathlock dimana Hak Interpelasi di DPR tenyata beralih memihak kepada SBY. Rakyat miskin kota pun tak tega menerima kinerja wakilnya di DPR yang cenderung mengikuti kemauan Presiden.
Konfrontasi masalah Impor Beras di Jawa, Papua kembali memanas dengan peliputan masalah Kriminal lingkungan dan HAM yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia di Papua dalam Majalah NewYork Times edisi 27 Desember 2005. Freeport dan Amerika terancam ekonominya di mata Internasional. Kalangan pemerhati Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia menyoroti FI. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Jakarta mengeluarkan hasil investigasinya di public bahwa Freeport mencemarkan Sungai Ajkwa yang terletak di areal pertambangan tersebut. Laporan WALHI kemudian dijadikan dasar bagi Prof. Dr. Amien Rais dalam beberapa waktu terakhir mengubar skandal Freeport. Freeport Jakarta dan Amerika mulai merancang skenario. Diduga bahwa Isuistik yang mengarah pada upaya provokatif beredar di Papua bahwa Thom Beanal dilantik oleh Presiden Amerika Serikat-George Bush untuk menjadi presiden Papua. Peredaran isu pun beragam. Bahwa Thom Beanal dilantik jadi pahlawan revolusi-Otto Mote dan Thom kibarkan bendera Papua Merdeka (BINTANG KEJORA) di NewYork-USA. Isu-isu tersebut diduga hanyalah skenario semata untuk membujuk rakyat Papua agar masalah Freeport tak jadi opini di kalangan orang Papua. Sebab mereka (FI) takut jika orang Papua berontak, prediksi bahwa para pejabat besar di Republik Indonesia mampu diatasi oleh Freeport-Mungkin dengan uang tutup mulut kah?
Diperkirakan bahwa pasca publikasi skandal lingkungan dan HAM oleh NYT, hubungan mesra terjadi antara Pemerintahan AS dengan RI. Sebab USA terancam dengan kasus Freeport sedangkan Indonesia terancam denga Embargo senjata. Terbukti pada kasus penangakapan 12 masyarakat sipil di Timika-Papua Barat,11 Januari 2006, yang dituduh AS-RI sebagai pelaku penembakan 2 warga Amerika dan 1 warga Indonesia pada tahun 2003silam. Tak mungkin hubungan Mesra ini dapat dipungkiri bahwa semakin langgengnya, maka agen kepolisian Amerika-FBI secara leluasa mondar-mandir dalam wilayah yurisdiksi NKRI bahkan menjebak 12 orang Papua untuk konsumsi kepentingan korps tertentu militer Indonesia. Begitu juga hubungan mesra USA dengan Presiden SBY dapat dilihat memalui pengangkatan beberapa pejabat strategis beberapa waktu terakhir. Pengangkatan bahkan penunjukan Panglima TNI dinilai sebagian kalangan politisi indonesia bahwa semata-mata untuk kepentingan hubungan mesra SBY-Bush semata. Jenderal Riamizard Ria Kudu era kepemimpinan Megawati telah ditetapkan oleh DPR RI untuk menjadi Panglima TNI menggantikan Endiartono Sutarto-sekarang.
Keinginan terselubung demi pemulusan hubungan mesra ini kemudian dibuat opini bahwa alasan calon panglima TNI adalah masalah pergeseran kekuasaan dalam kubu TNI itu sendiri. Calon Panglima atas penunjukan SBY merupakan actor yang memiliki watak sama dengan SBY untuk bermesra dengan Amerika semata. Sebab watak seorang Jenderal Ria Mizard cenderung anti Amerika.
Praktek kebijakan yang diduga mengarah pada kepentingan Imperialis Amerika semata membuat elemen rakyat Indonesia sakit hati dengan kebijakan SBY selama ini. Taktik melawan bahkan menggantikan SBY pada tahun 2009 mendatang ditata. Segi cultural orang Jawa cukup kuat dengan tradisi pengaduan kepada seorang raja. Ketika raja tersebut (misalnya Sultan di Yogya) sudah membendung kritik orang-orangnya tetapi terus ditindas kemungkinan si raja pun marah juga.
Akibat kemarahan seorang raja, SBY ketakutan karena merasa sebagian rakyat di Jawa dan Indonesia tak lagi mendukung kebijakannya. Kekuatan SBY pun bisa saja terancam pula. Pendukung kebijakan Presiden SBY, Amerika misalnya terus berada disampingnya guna perkuat kebijakan pemerintah sekarang.
Taktik pengalihan kekuasan di Indonesia cukup mulus sampai hari ini. Dari perkembangan yang ada, sebagian besar kekuatan penguasa di Indonesia telah merancang skenario penambila alihan kekuasaan, yang bisa saja terlaksana sebelum pemilu tahun 2009 nanti.
Untuk mencegah penghancuran kekuasaan SBY bahkan pengalihan kekuasaan di Indonesia, terindikasi sikut-menyikut kekuasaan mulai dilancarkan. Pertentangan pun kian memanas hari ini. Amerika sendiri terus memanfaatkan hubungan mesra itu, Pemberian Nobel perdaimaian kepada SBY diusahakan. Dalam harian Kompas,senin-31/01/06 bahwa seorang senator Amerika dari Partai Demokrat berniat mengusulkan pemberian Nobel Perdamaian kepada presiden Indonesia karena berhasil menyelesaikan masalah Aceh yang ibarat konflik Israel-Palestina mampu diselesaikan SBY secara damai. Rencana Pemberian Nobel ini sama sekali tak masuk di akal sehat. Sebab Papua sedang membara kasus penembakan di Waghete Paniai-Papua sana. Patut dipertanyakan makna nobel ini dimana masih saja terjadi kerusuhan yang lasimnya disebut bukan perdamaian toh SBY malah ditawarkan untuk mendapatkan nobel perdaimaian.
Papua Barat menjadi perbincangan sengit hari ini ditengah perseteruan elite sekarang. Papua dimata elite kontra SBY musti diselesaikan secara damai. Berita Kompas,31/01/06 Mantan Presden KH. Abdurrahman Wahid memprotes kinerja SBY. Yaitu mempertanyakan penyelesaian masalah Aceh yang dinilai hanya menguntung Negara lain, sedangkan Papua, Gusdur mempertanyakan sejauh mana keberpihakan SBY untuk selesaikan Papua.
Kepentingan AS di Papua Barat menjadi penting bagi perlindungan pemerintah sekarang. Jika kekuasaan Indonesia beralih dalam penataan pengalihan yang dapat dianalisis tadi, kepada kekuatan rakyat dalam kepemimpinan RI satu yang anti Amerika, desakan Referendum bagi Papua Barat menjadi satu-satunya pilihan penyelamatan kepentingan Ekonomi Amerika di Papua.
Tegakan Imperialis di Papua?
Jika referendum menjadi pilihan penyelesaian masalah Papua dari logika MODAL yang tak aman, orang Papua berada pada bayang-bayang ideologi yang tak mengakar memudahkan penguasaan rezim penindas berkuasa di Papua jika Papua benar-benar pisah dalam gelar referendum. Keluar dari Mulut Buaya Masuk Mulut Singa bisa jadi?.
Kawan-kawan Pergerakan di Papua harus mampu untuk membaca situasi dan skenario ini untuk meyatukan langkah penyelamatan masyarakat Papua. Terlebih lagi jika analisis kebijakan referendum di tahun 2006 ini dapat terealisasi, Maka persatuan penyelamatan rakyat dari upaya kongsi yang terus dilakukan menjadi penting! Kebutuhan keberpihakan sikap orang Papua menjadi pilihan agenda referendum terlaksana dan tidak.
Sekian, analisis singkat yang bersifat fiksi ini saya sampikan, sebab politik adalah nadi yang bergerak-berubah tiap detik pula.
By… Ketua Umum
Aliansi Mahasiswa Papua-AMP
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment