JIKA dibandingkan dengan krisis 1998, krisis kali ini memperlihatkan pemerintah lebih sigap.
Tidak terlena oleh kepercayaan berlebihan terhadap fundamental ekonomi yang selalu dikatakan kuat, tetapi ternyata rapuh, namun mengambil semua langkah antisipatif yang memungkinkan.
Kurang dari dua minggu, tiga peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dikeluarkan. Pertama, perppu tentang penaikan batas minimum simpanan yang dijamin pemerintah dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Kedua, perppu tentang perubahan aturan tentang Bank Indonesia dan, ketiga, perppu tentang bailout atau talangan terhadap bank-bank bila menghadapi krisis likuiditas akibat rush misalnya.
Itulah sesungguhnya antisipasi paripurna. Bahkan oleh sebagian pengamat antisipasi paripurna seperti ini, terutama tentang bailout, dinilai berlebihan. Pemerintah rupanya berpendapat, antisipasi yang sempurna jauh lebih baik daripada terlambat.
Krisis ekonomi sekarang ibarat tsunami yang meluluhlantakkan semua kesombongan dan keangkuhan tentang kemahaperkasaan ekonomi, terutama perekonomian Amerika Serikat. Terlambat, apalagi salah menempuh kebijakan antisipatif, akan disapu tsunami krisis yang dahsyat itu.
Sekarang payung antisipasi sudah ditempuh semua. Bila pepatah menasihatkan sedia payung sebelum hujan, pemerintah telah menyediakan tiga payung menghadapi hujan krisis.
Nah, krisis memang belum berakhir. Oleh sebagian pengamat bahkan dikatakan krisis baru dimulai. Bursa saham dunia, sebagai salah satu jendela krisis, termasuk di Indonesia, merosot tajam. Tetapi dalam hari-hari terakhir mulai terjadi rebound. Kalau toh terjadi penurunan, angkanya tidak lagi terlalu besar.
Di Indonesia saham-saham kelompok usaha Bakrie yang perdagangannya sempat dihentikan selama beberapa hari dibuka kembali. Beberapa saham mulai rebound.
Mutu sebuah kebijakan terhadap krisis, tentu, tidak semata diapresiasi pada sisi kecepatan dan kelengkapan. Efektivitas kebijakan jauh lebih penting. Tidak cukup hanya menyediakan tiga payung sebelum hujan. Tetapi yang lebih penting adalah payung-payung yang kukuh melindungi.
Tiga perppu krisis yang diapresiasi dan diacungi jempol itu, memang, hingga sekarang telah terbukti efektif mencegah malapetaka mematikan. Perdagangan saham telah dibuka kembali. Rush di perbankan tidak terjadi.
Yang menjadi ujian bagi antisipasi paripurna ini tidak semata pada aspek ketaatan pemerintah terhadap kendala-kendala yuridis. Tiga perppu itu memperlihatkan betapa pemerintah takut dipersalahkan dari aspek hukum bila mengambil langkah penyelamatan krisis. Pemerintah takut terulang lagi kasus BLBI yang telah menimbulkan krisis yang dalam, tidak saja di bidang ekonomi, tetapi sekaligus kejahatan politik yang sangat memalukan.
Sesungguhnya ketaatan yuridis tidaklah menjadi persoalan gawat manakala deviasi terjadi oleh pemerintah yang memiliki integritas terhadap kepentingan publik. BLBI menjadi malapetaka karena dilaksanakan sebuah rezim yang dibelenggu nafsu moral hazard.
Ancaman moral hazard dari tiga perppu ini ada bila tidak dikontrol secara ketat, terutama oleh DPR dan publik. Misalnya dalam soal kriteria bailout. Jangan sampai bailout diberikan secara serampangan. Bank yang mengalami krisis karena mismanagement atau karena kejahatan korporasi tidak pantas mendapat bailout.
07 November 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment