20 November 2008
Untuk Siapa Mahasiswa Papua Berpolitik?
SEBENARNYA saya sangat menyadari kemampuan dan keberadaan saya sebagai seorang pelajar. Dan saya rasa, tidak pantas saya menulis artikel seperti ini. Tapi ada satu pertanyaan: kalau bukan saya yang suarakan, siapa lagi?
Karena saat ini mahasiswa Papua sedikit “buta” dengan perkembangan Papua saat ini, bahkan ada segelintir mahasiswa yang sedang berusaha menghancurkan semua mimpi yang senantiasa didambakan dan dinantikan oleh semua orang Papua.
Rabu (29/10), DPR RI dan Mendagri telah menyetujui dimekarkannya tiga kabupaten baru di Papua dan Papua Barat. Yakni Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Deiyai dari Kabupaten Induk Paniai, serta Kabupaten Tambrauw dengan Kabupaten Induk Sorong.
Mekarnya tiga kabupaten baru ini tentunya akan menimbulkan teka-teki bagi publik di Papua. Karena apa? Beberapa kabupaten baru yang telah dimekarkan di Papua, tidak menunjukan perubahan yang signifikan, padahal kucuran dana Otsus telah tumpah ruah begitu saja. Fakta di lapangan menunjukan, bahwa pemekaran dan pemberian status Otonomi Khusus (Otsus) bukanlah jawaban semata wayang untuk mendongkrak segala sektor yang tertinggal di Papua.
Sudah barang tentu masyarakat Papua akan tegas menolak adanya pemekaran, karena pemekaran biasanya lebih menguntungkan kalangan birokrat pemerintah. Pemekaran hanya memperkaya “raja-raja kecil” dan kroni-kroninya. Ini bukan cerita fiksi belaka, tetapi ini kebenaran fakta. Selain itu, pemekaran hanya menambah luka batin warga masyarakat dengan pendropan militer sebanyak-banyaknya di Tanah Papua.
Dengan dilema pemekaran wilayah baru ini, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertanyaan yang beragam pula. Betulkah pemekaran ini murni dari hati nurani masyarakat? Betulkah pemekaran untuk lebih mensejahterakan rakyat? Betulkah rakyat akan bahagia hidup di daerah pemekaran? Setujukah mereka dengan pemekaran daerah baru?
Atau sebaliknya, jangan-jangan ide pemekaran ini hanya datang dari oknum pejabat serta kroni-kroninya yang tidak puas dengan memegang uang Otsus 1 Milyar, tidak puas dengan pangkat, golongan serta kedudukan bahkan tidak puas juga dengan Avaza yang hanya tinggal di garasi mobil, mungkin ingin memiliki lagi lima buah mobil Avanza.
Ini suatu fenomena yang telah terbukti di seantero Papua. Dimana egoisme para pejabat dan kroni-kroninya sangat tinggi. Tidak mau anak mereka pergi sekolah dengan motor Kawasaki, maunya menyekolahkan anak mereka dengan mengendarai mobil Avanza. Ini kan lucu, menggelikan. Mama-mama “dorang” di kampung berjalan berkilo-kilo untuk tetap memenuhi kebutuhan mereka, adik-adik “dorang” menangis terus menerus karena tidak ada gizi yang imbang dengan perkembangan pola pikir mereka. Dibalik semua itu pejabat hanya bersorak girang di atas segala penderitaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menyinggung keenakan mereka (pejabat Papua) karena sedikit lagi mereka tinggal masuk jurang neraka. Dan bukan berita baru lagi, kalau para pejabat berpolitisi dengan nama “pemekaran” untuk memperkaya diri mereka.
Saya mau soroti adalah, para mahasiswa Papua yang telah nyata ikut berpolitisi untuk mendukung berbagai perkembangan dan gejolak di Papua yang ujung-ujungnya akan menghancurkan Papua serta menenggelamkan mimpi-mimpi untuk mencapai Papua yang bebas dari segala ikatan. Salah satu diantaranya: mendukung pemekaran daerah baru di Tanah Papua.
Surat Kabar Harian Papuapos Nabire, edisi 5 November 2008 menulis keberadaan sejumlah oknum mahasiswa Papua asal Deiyai yang dituding ada dibalik pemekaran kabupaten baru itu. Oknum mahasiswa yang mendukung pemekaran Kabupaten Deiyai itu sebenarnya biasa bersuara atas nama kebenaran dan pembebasan bagi Papua.
Ungkapan kekecewaan itu seperti diungkapkan salah satu mahasiswa Papua dari Yogyakarta, Agus Mote. “Kenapa mahasiswa juga ikut terlibat dalam permainan politik. Saya melihat tindakan mereka itu hanya karena kepentingan segelintir orang di masa mendatang. Tapi jangan atas namakan mahasiswa Papua asal Deiyai, nanti apa tanggapan orang terhadapa kami.”
Terhadap kenyataan itu, Agus menilai mahasiswa asal Deiya bertopeng dua. “Dimana merekalah yang menghancurkan masyarakat di sana. Termasuk mereka telah menjual tanah adat mereka. Bahkan yang lebih mengherankan, kenapa mereka bisa tergoda oleh rayuan tim pemekaran?”
Istilahnya mereka (penghianat) adalah musuh dalam selimut. Dalam orasinya maupun diskusi publik selalu menolak pemekaran kabupaten baru di Papua, mereka juga selalu menyuarakan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, kemudian mereka juga selalu menuntut untuk diperiksa apabila ada pejabat Papua yang terlibat dalam korupsi uang Otsus, dan lain-lainnya.
Padahal tanpa mereka sadari, dengan pemekaran kabupaten baru akan menambah jumlah korban akibat pelanggaran HAM yang akan terus terjadi, serta meningkatnya Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN). Aneh bukan, kembali telah muntahnya. Memalukan sekali, cara seperti begini. Dengan jelas mereka telah menjadi “tiang garam” di tengah kebobrokan bangsa Papua.
Selain peristiwa penghianatan diatas, Marthen Tipagau, salah satu mahasiswa asal Sugapa yang dikabarkan sangat mendukung pemekaran daerah baru di Papua, usahanya sangat terbukti dengan dimekarkannya kabupaten dari daerah asalnya yaitu Kabupaten Intan Jaya.
Intah Jaya mekar antara tangisan dan dukacita warga disana. Dimana kaum intelektual acuh tak acuh terhadap kehidupan mereka. Padahal kaum intelektual punya andil yang sangat besar dalam perkembangan daerah di sana. Sehingga tidak heran perang adat menjadi suatu tradisi yang sering terjadi. Hingga saat ini, beberapa permasalahan dalam perang suku di daerah ini belum juga diselesaikan. Pada hal beberapa bulan lagi Surat Keputusan (SK) dari Mendagri akan turun atas nama Kabupaten Intan Jaya.
Puluhan warga Biandoga seperti yang diberitakan Papuapos Nabire, edisi 9 November 2008, meninggal dunia. Jenis penyakitnya belum diketahui. Ironisnya, tidak satupun mahasiswa asal suku Moni yang memberikan suara agar tim Dinas Kesehatan turun langsung ke lokasi wabah. Tidak hanya itu. Beberapa waktu lalu, PT Freeport yang beroperasi di Sugapa mem-PHK-kan puluhan karyawan pribumi. Mereka terpaksa menggangur lagi tanpa adanya harapan pasti untuk menghidupi keluarga dan sanak saudara mereka.
Beberapa pengamat menilai, Kabupaten Intan Jaya dimekarkan terlalu dini. Sebab sampai saat ini belum adanya persiapan maupun kesiapan dalam menyambut pemekaran itu. Banyak warga yang masih primitif dan tidak tahu menahu apa tujuan pemekaran dan manfaatnya untuk masyarakat Papua. Perang suku yang tidak kunjung selesai, salah satu alasan paten kenapa Intan Jaya belum bisa dimekarkan.
Di situs www.kabarindonesia.com, ditulis tentang ketidaksetujuan mahasiswa dan pelajar asal Sugapa, lantaran Marthen Tipagau berjalan dibawah kendali para pejabat. Yang hanya mengejar jabatan, kedudukan, maupun pangkat di kabupaten baru itu. Berikut kutipan komentarnya: “Saudara Marthen Tipagau jangan asal minta kabupaten baru untuk dimekarkan karena ambisi pegawai negeri, ambisi jabatan dan ambisi kedudukan. Selain itu, jangan juga memiliki keinginan tinggi, seperti; saya punya uang banyak boleh dan mobil segalanya dan jangan mengurus diri anda sendiri. Anda harus memikirkan masyarakat kelas bahwa yang selalu menjerit, karena saudara Marthen koi juga datang dari masyarakat kelas kecil seperti mereka. Koi ada bukan dari orang kaya atau orang Jawa dorang. Paham kan….] Dari Mahasiswa dan Pelajar suku Moni se Jawa-bali. By Weyabumala.
Masih banyak unek-unek yang dipaparkan karena ketidapuasan mereka terhadap beberapa mahasiswa asal Sugapa yang diduga berpolitik praktis untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka dibiayai oleh para pejabat Papua untuk bersuara atas nama mahasiswa Papua di DPR RI agar ada persetujuan dari DPR dan Mendagri. Sebuah skenario yang tersusun sangat rapi, tidak nampak kejahatan dan kemunafikan mereka.
Renungan Untuk Mahasiswa Papua
Kedua contoh diatas saya paparkan, agar ada penguatan bukti dalam judul tulisan ini. Dimana tidak semua mahasiswa Papua bersuara atas nama kebenaran dan untuk masyarakat Papua. Ternyata masih ada segelintir mahasiswa Papua yang bersuara karena keegoisan dan kepentingan perut mereka semata.
Masih ada mahasiswa Papua yang ragu dan bimbang, dengan pendidikan serta keahlihan yang mereka tekuni di pulau Jawa. Merek takut, ketika pulang ke Papua mereka tidak akan dipakai, kemudian akan nggangur, bahkan mereka juga akan menjadi pengemis antar lamaran dari kantor ke kantor tidak diterima.
Sebenarnya alasan beberapa mahasiswa Papua ikut berpolitis karena semua itu. Memikirkan, apa yang mereka makan dan minum di era Otsus yang dananya triliunan rupiah. Dimana mereka akan tinggal, bahkan dimana mereka duduk. Ambisi jabatan, kedudukan, serta uang menjadikan nomor satu dalam mendukung pemekaran beberapa kabupaten baru di Papua yang disinyalir telah dan sangat gagal di Papua.
Tidak salah mendukung adanya pemekaran, tapi jangan jadi serigala berbulu domba yang bisa menghianati semangat teman-teman seperjuangan anda di tanah perantauan. Di depan bicara begini, tapi dibelakang sudah lain lagi. Ini sikap memalukan yang tak pantas dilakukan oleh seorang mahasiswa calon intelektual.
Bagi mahasiswa Papua yang masih suka bermain politik praktis demi kepentingan perut: sebaiknya Anda tidak usah ikut berorasi, menyampaikan argumentasi Anda dimanapun dengan iming-iming kesejahteraan masyarakat Papua. Sebab sama saja Anda telah menjadi serigala di tengah-tengah domba. Saya bisa istilahkan hati Anda bercabang dua: antara mendukung kesejahteraan rakyat Papua dan mendukung kebobrokan masyarakat Papua oleh pemerintah Pusat.
Selain itu, mahasiswa Papua yang berpolitisi untuk kepentingan perut sendiri: sebaiknya tidak usah bersuara atas nama pembebasan (Merdeka) karena Anda telah menjadi batu penghalang di tengah mulusnya jalan kemerdekaan bangsa Papua. Anda menjadi musuh, yang telah nyata hancur-leburkan mimpi seluruh masyarakat Papua untuk menuju kemerdekaan dan pembebasan yang sesungguhnya.
Jangan kira, dengan adanya pemekaran jalan untuk menuju kemerdekaan semakin terbuka lebar. Sama sekali tidak. Dengan adanya pemekaran, mimpi-mimpi indah untuk kemerdekaan hanya tingga kenangan. Mahasiswa Papua yang berpolitisi cacat, hanya menjadi hama di tengah rerumputan yang siap bertumbuh dan berkembang. Anda menjadi batu karang, yang siap menghambat segalanya di Tanah Papua.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi teman-teman mahasiswa sekalian. Tetapi hanya menjadi bahan renungan yang layak untuk dipertimbangkan. Perlu diperhatikan antara perbedaan bersuara untuk rakyat, dan bersuara untuk kepentingan perut sendiri.
Menjadi perenungan, agar tidak lagi menjual, membunuh dan membinasakan mahasiswa lainnya dan masyarakat Papua. Hanya karena iming-iming kepentingan perut dan sejenisnya. Tidak pantas kita berbicara kemerdekaan, kalau kita sendiri masih belum bisa membebaskan diri kita dari hal-hal kecil seperti ini. Tidak pantas kita bicara keadilan, kalau kita sendiri terjun dalam dunia ini untuk menunjukan ketidakadilan di bumi Papua. Tidak pantas kita bicara HAM kalau kita sendiri mendukung terjadinya pelanggara HAM di Papua. Bahkan tidak pantas kita bicara merdeka, kalau kita jadi penguasa yang masih dan ingin tetap menjajah.
Tidak beda jauh antara pejabat dan mahasiswa. Ketika kita menjadi mahasiswa kita akan menjadi kaum intelektual yang seolah-olah memperjuangkan nasib dan keadaan rakyat Papua melalui perkembangan yang terjadi di Papua. Tetapi ketika kita menjadi seorang pejabat, kita akan menjadi manusia bejat yang menelan semua sumpah zina yang pernah kita keluarkan saat bersuara maupun berargumen.
Pada intinya, pikirkan dulu ke jalan mana kita mau melangkah. Mau jadi pejabat dengan iming-iming pemberdayaan masyarakat Papua? Ataukah kita mau jadi mahasiswa yang benar-benar memperjuangkan nasib dan keadaan rakyat Papua, walaupun dalam keadaan yang serba kekurangan. Kekurangan tapi pasti lebih penting, dari pada kelebihan tapi tidak pasti. Kekurangan dengan menghasilkan sesuatu lebih penting, dari pada kelebihan tetapi sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.
Semoga apa yang saya paparkan, menjadi kerinduan dan renungan panjang untuk semua kita yang selalu dan selalu bersuara untuk, dan atas nama seluruh rakyat dan masyarakat Papua yang sedang tertindas di tanah perjanjian yang dikaruniakan Tuhan kepada semua kita.
Salam perjuangan buat semua teman-teman. Berjuang dan mengabdilah untuk Papua. Papua membutuhkan kalian untuk mengisi kemerdekaan yang sedang kita rintis bersama saat ini. (Oleh : Oktovianus Pogau)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment