Rabu, 22/10/2008 03:28 (GMT+9.5)
Mendidik yang membebaskn, saat ini hampir tidak terjadi. Yang terjadi adalah mendidik yang tidak membebaskan. Pendidikan harus membuat guru merdeka berpikir, merdeka berbuat, dan merdeka pula berevaluasi. Guru belum terbiasa dengan perbedaan. Kekeliruan guru adalah membuat segala sesuatu menjadi seragam, tinggal mencontoh.
Masih pula terjadi kebohongan dalam pendidikan. Ujian dimanipulasi, nilai didongkrak. Andai ujian dapat dinilai 2, ya cantumkan 2 saja. Siswa nanti harus belajar lagi, supaya lulus. Jangan malu mengakui kalau kerja guru memang belum maksimal. Akhir dari proses belajar adalah anak didik bisa belajar dengan hasil yang baik.
Guru harus dibebaskan untuk memilih kurikulum yang mana dikuasainya, agar proses pembelajaran menjadi berkualitas. Pemerintah cukup mengguide guru memilih kurikulum. Prinsipnya tak ada kurikulum yang jelek, yang jelek adalah implementasinya. Dewasa ini dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) guru diminta membuat kurikulum sendiri, padahal belum semua guru paham. Ibarat masih merangkak sudah disuruh berlari.
Intinya, bebaskan guru untuk belajar. Jika belum siap dengan KTSP, coba dengan kurikulum yang lebih bisa dikuasai. Analoginya seperti pergi ke suatu tempat yang jauh. Mungkin orang membayangkan bahwa naik helicopter akan lebih cepat sampai di tempat tujuan. Ternyata alternatif yang paling cepat bagi orang tersebut adalah naik sepeda, karena yang dipahami adalah cara bersepeda. Jika mau naik mercy, apalagi helicopter, bisa lebih lama karena belum paham mengendarainya.
Nah, aplikasi misalnya kuasai dulu kurikulum 94, maka akan sudah menguasai KBK. Sebab tak pernah ada perubahan signifikan dalam kurikulum. Sepeda dan sepeda motor tidak jauh berbeda. Apa beda signifikan kurikulum 94 dengan KBK? Tinggal menambahkan praktek meski disebut-sebut kompetensi. Guru harus didudukan sebagai insan akademik. Guru wajib membaca, menggali sumber ilmu apa saja yang sekiranya berguna dari buku, media, internet dan sebagainya. Dengan banyak membaca, zone of knowledge (daerah pengetahuan) kian luas, sehingga makin banyak variasi mengajar, makin kreatif, berani bereksplorasi, dan selalu ingin berubah. Bagus tidaknya breakdown kurikulum tergantung zone of knowledge. Yang sempit daerah pengetahuannya pasti tidak pe-de mengajar.
Iklim dan lingkungan sekolah harus menantang guru untuk belajar. Saat ini sekolah belum maksimal memberikan suasana agar guru dan siswa tertantang belajar. Berapa halaman guru membaca di sekolah? Jangankan tidak ada dorongan guru untuk membaca, juga tidak ada kewajiban pemerintah membangun perpustakaan guru atau membiayai diskusi guru. Guru adalah insane akademis, bukan pegawai. Kalau sebagai pegawai guru takut kepada kepala sekolah, seterusnya kepala sekolah takut pengawas, pengawas takut kepala dinas.
Guru harus diberikan peluang belajar untuk belajar sebaik-baiknya, baik oleh sekolah, dirinya sendiri, lingkungan maupun kebijakan, sehingga dia punya komitmen untuk belajar. Perbaikan mutu pendidikan tidak akan signifikan, apabila tidak ada iklim belajar dan tantangan yang tinggi dalam kultur sekolah. Kemudian guru dan orang tua harus mendorong anak agar tahu tanggung jawab dan kewajiban sebagai pelajar. Membaca buku adalah satu kewajiban siswa. Nah, jika orang tua, guru serta siswa sudah punya komitmen belajar, maka akan terjadi proses dinamis di sekolah. Guru punya tanggung jawab kerja terbaik, siswa punya tanggung jawab belajar terbaik, orang tua punya tanggung jawab mendrive anaknya untuk disiapkan menjadi terbaik. Pemerintah tinggal membuat kebijakan yang menguatkan komitmen guru, orang tua dan siswa itu.
Pemerintah konsisten dengan kebijakan. Berikan gaji guru yang bagus sehingga banyak calon mahasiswa yang pintar punya keinginan masuk pendidikan guru. Pendidikan maju karena konsisten. Pendidikan guru di Thailand, orientasinya jelas. Sekolah guru, ya untuk menjadi guru. Diberikan block grand untuk pendidikan guru. India adalah Negara miskin tapi bisa maju karena pendidikannya maju. Di Indonesia, pendidikan keguruan dianggap hanya membutuhkan biaya sedikit. Padahal kalau mau bermutu, perlu laboratorium micro teaching.
Konsistensi seperti ajaran Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tuladha, di depan memberi contoh. Mau mencontohkan apa, konsistensi, ya lakukan konsistensi kurikulum. Adakah studi yang mengatakan kurikulum perlu diganti? Pendidikan akan semakin kuat jika berbasis kondisi kita sendiri. Tidak perlu meniru Singapura dan Malaysia. Yang penting konsisten. Kalau kita naik becak, ya konsisten larikan becak dengan cepat, lari benaran. Jangan kita membicarakan mercy, tidak relevan. Kita perlu kebijakan pemerintah yang menopang, yang tidak membelenggu suatu pendidikan yang baik, yang membebaskan, yang tidak terkungkung seperti sekarang ini.
Oleh : Drs. Selsius E. Aron
(Wakasek Bidang Akademik SMAN 2 Mimika)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment