21 Oktober 2008 10:31:06
JAKARTA – Aksi separatisme yang kembali marak di Papua mengundang keprihatinan DPR. Komisi I (bidang hubungan luar negeri) menentang upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Pernyataan resmi itu disampaikan Ketua Komisi I Theo L. Sambuaga (FPG) didampingi Wakil Ketua Komisi Arief Mudatsir Mandan (FPPP), anggota Komisi I Abdillah Toha (FPAN), dan Marzuki Darusman (FPG) di ruang wartawan DPR kemarin (20/10). ’’Komisi I DPR mengecam berbagai upaya pihak asing yang mensponsori kampanye memisahkan Papua dari NKRI seperti yang dilakukan anggota parlemen Inggris Andrew Smith dan Lord Harries yang membentuk International Parliamentarians for West Papua,’’ kata Theo.Komisi I juga menilai pembentukan Kaukus Parlemen yang bekerja sama dengan tokoh OPM Beny Wenda bertentangan dengan semangat kerja sama internasional antaranggota parlemen yang dilandasi prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing negara. Juga, melanggar prinsip Inter Parliamentary Union (IPU) yang tidak menoleransi upaya separatisme. ’’Saat ini rakyat Papua bersama seluruh rakyat Indonesia sedang bekerja keras meningkatkan kesejahteraannya melalui pemberdayaan masyarakat,’’ ujar Theo.Dia menjelaskan, Indonesia senantiasa membuka diri bagi kerja sama internasional dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Termasuk, masukan, saran, dan kerja sama dalam membangun Papua di segala bidang. ’’Kami akan tetap menolak berbagai upaya pihak-pihak, termasuk pihak asing, yang hendak memisahkan Papua Barat dari NKRI,’’ tegasnya.Dalam hubungan ini, Komisi I DPR mengharapkan kewaspadaan dan kegiatan proaktif seluruh perangkat KBRI di luar negeri, khususnya Eropa, untuk mengikuti perkembangan serta menyebarkan informasi objektif tentang otonomi khusus dan pembangunan di Papua.Abdillah Toha menambahkan, komisi I tidak reaktif dalam menanggapi upaya pihak asing tersebut dan tidak senang atas adanya pembentukan parlemen untuk mendukung pemisahan Papua dari NKRI. ’’Ini upaya cuma-cuma karena sejarah Papua satu kesatuan dengan NKRI,’’ katanya.Pada kesempatan terpisah, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengungkapkan, berbagai persoalan atau gejolak yang terjadi di daerah yang menimbulkan ancaman bagi keutuhan NKRI harus ditangani melalui dialog, bukan dengan kekerasan. ’’Jika pun ada orang sekali-kali mengibarkan bendera GAM, RMS, maupun Bintang Kejora, sebaiknya ditangani saja secara lunak dan diyakinkan bahwa mereka tidak perlu melakukan itu,’’ jelasnya setelah pengangkatan dirinya sebagai anggota kehormatan Pepabri oleh Ketua Umum DPP Pepabri Agum Gumelar di Kantor Dephan, Jakarta, kemarin.Dia menuturkan, aparat kepolisian maupun TNI hanya bisa dikerahkan jika memang sangat perlu atau sebagai upaya terakhir untuk menenteramkan keadaan di lapangan. Sebagaimana disampaikan presiden, penanganan persoalan yang bergejolak di lapangan dilakukan secara dialog terbuka. Sebagaimana diketahui, 15 Oktober 2008, dua anggota parlemen Inggris, Andrew Smith dan Lord Harries, membentuk International Parliamentarians for West Papua. Gerakan itu menginspirasi beberapa elemen rakyat sipil di Papua untuk berdemonstrasi menuntut referendum ulang di Papua. ’’Saya merasa yakin, selama tidak ada dukungan senjata, finansial, maupun organisasi dari luar, gejala ini hanya letupan-letupan sementara,’’ kata Juwono. Dia menyatakan, pendekatan dialog, persuasif, dan demokrasi dalam menangani persoalan-persoalan yang timbul di daerah rawan separatis seperti Aceh, Maluku, Papua, maupun gejolak rawan konflik seperti di Poso bukan bentuk kompromi pemerintah, tapi merupakan suatu komitmen bersama dari presiden. ’’Pemerintah mencoba menghidupkan kembali perangkat-perangkat sipil yang bisa mendamaikan sesama golongan masyarakat. Polisi dan TNI hanya sebagai pendukung dan pemberdayaan oleh pemerintah sipil,’’ ungkap alumnus London School of Political Science, Inggris, tersebut. Ketua Umum Pepabri Jenderal (pur) Agum Gumelar yang mendampingi Menhan menambahkan, menyikapi situasi yang berkembang di daerah, sejak dulu hingga sekarang aparat keamanan selalu mengedepankan tindakan persuasif, lunak dan menyadarkan, serta komunikatif.’’Tapi, bila terjadi eskalatif yang kemudian mengancam bingkai NKRI secara nyata, sikap penanganan akan berubah lebih pada tindakan tegas. Saya rasa sikap pemerintah dalam perintahnya akan berubah, bergantung situasi dan kondisi,’’ ujarnya. (rdl/dyn/kim/jpnn)
20 October 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment