31 Oktober 2008 10:30:44
JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali meminta media massa tidak menyiarkan berita yang menimbulkan kebencian, kekerasan, dan merusak moral bangsa. Pemberitaan media massa juga harus objektif sehingga mendorong penghormatan terhadap hak asasi orang lain." Kebebasan pers bukan berarti kebebasan seluas-luasnya. Sesuai Pasal 28 huruf J UUD 1945 hasil amandemen, kebebasan dibatasi oleh undang-undang dan hak asasi orang lain," ujar Kalla ketika membuka seminar Refleksi Sembilan Tahun Kemerdekaan Pers di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, kemarin (30/10).Hadir dalam acara yang digelar Dewan Pers antara lain Wakil Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa, Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar Dahlan Iskan, dan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal.Wapres juga meminta media menyiarkan berita yang membangun optimisme masyarakat dan memperlihatkan cara yang benar untuk menyelesaikan permasalahan. Dia mencontohkan, berita tentang pembakaran kantor KPU oleh massa satu kandidat yang kalah dalam pilkada dipastikan akan merembet ke pembakaran kantor KPU di daerah lainnya. " Massa melihat berita tentang pembakaran itu sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan. Jadi kalau kandidat di pilkada ingin menang, lesson to learn yang dipetik dari berita di media, bakar saja kantor KPU," kata dia. Kalla mengakui media tidak salah memberitakan kekerasan, karena perilaku yang keliru itu fakta jurnalistik. Namun, dia meminta media berfikir tentang tanggung jawab dari berkah kebebasan yang diperolehnya. Berita kekerasan selain memperlihatkan contoh penyelesaian masalah yang keliru, juga membuat pola pikir masyarakat tidak dewasa." Melihat orang demo, pukul-pukulan di televisi, itu menciptakan pola pikir chaos terus-menerus. Mungkin media akan sulit membuat headlines, tapi kalau kita ingin menciptakan masyarakat sejahtera, kita sudahi penciptaan chaos di masyarakat, ajaklah bangsa ini menyelesaikan masalah tanpa kekerasan," paparnya.Dia mencontohkan, Sabtu lalu dia ke Solo untuk membuka Muktamar Ikatan Remaja Muhammadiyah yang dihadiri puluhan ribu orang. Namun, besoknya media justru menayangkan berita tentang demo atas kehadiran Wapres yang hanya dilakukan puluhan orang. " Beritanya tidak salah. Tapi demo itu lima kilometer dari tempat saya, saya bahkan tidak tahu kalau ada demo. Tapi demo yang dilakukan sepuluh orang itu justru menjadi headlines, dan pembicaraan wapres dengan puluhan ribu orang kalah dengan omongan dua-tiga mahasiswa," kata dia. Dalam pengantarnya, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal menilai media belum dewasa dengan kemerdekaan pers dan belum memahami kode etik jurnalistik. Ini ditandai dengan peningkatan jumlah pengaduan masyarakat atas pemberitaan media ke Dewan Pers.Kondisi tersebut di satu sisi sangat menggembirakan karena masyarakat makin sadar untuk menyelesaikan masalah pemberitaan di luar pengadilan. "Di sisi lain, jumlah pengaduan yang semakin besar ini menunjukkan belum dewasanya pers sendiri atau karena pers melanggar kode etik jurnalistik dan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers," kata dia.Ichlasul menilai masih banyak yang harus diperjuangkan agar pers bisa melestarikan kemerdekaannya sendiri. "Pers satu sisi diharapkan bisa membangun dan memberikan pencerahan pada masyarakat. Namun pers juga bisa menghancurkan masyarakat, inilah sisi negatif pers," ujarnya.Hingga Juni lalu, Dewan Pers telah menerima 1.265 pengaduan tentang pemberitaan dari masyarakat. Mayoritas disebabkan pemberitaan yang tidak memenuhi standar dan etika jurnalistik. Dari pengaduan tersebut, Dewan Pers telah menetapkan 31 pelanggaran kategori kelas berat berupa pelanggaran Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) maupun Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dilakukan 23 media. Atas pengaduan tersebut, dua puluh media mematuhi putusan Dewan Pers, sementara tiga media menolak. (noe)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment