AJU, AITA & AMA....AMAKANIE...!!!

19 November 2008

Mengapa Perang Suku Sering Terjadi di Kabupaten Mimika

Kampung Kembeli dan Banti adalah dua kampung yang letaknya dekat Tembagapura sebuah kota modern di tengah rimba Papua. Tak jauh dari kota itu terdapat dua kampung yang kini sedang bentrok yang oleh masyarakat Indonesia disebut Perang Suku.
Ironinya dua kampung ini termasuk di dalam kawasan operasional PT Freeport Indonesia. Pertikaian antarsuku itu mulai berlangsung pada Selasa (16/10) lalu. Hingga kini pertikaian itu belum juga selesai. Walau pun Wagub Alex Hesegem sudah memerintahkan aparat Penjabat Bupati Mimika Allo Rafra dan Kapolres Mimika AKBP GH Mansnembra untuk segera menuntaskan kasus pertikaian antar kampung tersebut.
Jika disimak pertikaian atau pun bentrok seringkali terjadi di Timika sehingga kota ini seringkali diplesetkan menjadi Tiap Minggu Kacau (Timika). Pertikaian ini bukan sesuatu yang baru setahun yang lalu tepatnya 3 Agustus 2006, juga terjadi perang suku di Kwamki Lama. Upaya damai pun dilakukan dan upacara patah panah untuk mengakhiri perang yang terjadi sejak 24 Juli 2006 lalu.
Antropolog Universitas Cenderawasih J Mansoben mengingatkan, upacara patah panah hanya berarti kesepakatan gencatan senjata. Ia mengharapkan Muspida Mimika segera memfasilitasi upacara bakar batu untuk mengukuhkan perdamaian.
"Dalam upacara bakar batu, arwah para leluhur menjadi saksi kesepakatan damai tersebut. Karena kesepakatan damai melibatkan seluruh kosmos, para pihak yang bertikai akan menghormati perdamaian itu," tutur Dr JR Mansoben
Namun pertikaian ternyata belum berakhir dan sampai kapan ini akan terus terjadi di lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia. Apakah ini memang sengaja dilakukan agar satu demi satu hilang akibat pertikaian sendiri? Banyak pihak mengambil keuntungan di balik timbulnya perang suku. Minimal daerah ini dikatakan tidak aman karena ada perang suku sehingga peran keamanan justru dibutuhkan di daerah areal konsesi milik perusahaan asing ini.
Jika disimak sebenarnya terjadinya Perang Suku di Papua bukan masalah baru, sudah berlangsung sejak nenek moyang. Kalau jaman nenek moyang dulu ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya perang yang dikutip dari buku” Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz,” 2000 oleh Arnold Mampioper, antara lain:
1. Uang harta kawin yang tidak dilunaskan hingga mengakibatkan terjadinya perampasan wanita atau pencurian babi.
2. Korban perang yang tidak dibayar oleh klen yang menjadi pokok perkara atau dalam bahasa suku Amungme disebut nemum
3. Pelanggaran batas kawasan ketika seseorang/kelompok masyarakat berburu pada daerah yang bukan miliknya.
Perang suku terbesar terjadi di kawasan Amungme sekitar tahun 1952 – 1953 antara keret Katagame dari kelompok Ninume melawan keret Kemong di pihak Ondimangau. Namun perang suku itu berhasil dihentikan oleh Pastor M Kamerer dan Guru Moses Kilangin tokoh pendidikan asal suku Amungme.
Selanjutnya para pastor dari missi Katolik dan missionaris secara perlahan mulai membukakan sekolah dan gereja di daerah Distrik Akimuga Kabupaten Mimika. Jelas ini membawa perubahan sehingga sejak itu perang suku jarang terdengar lagi. Atau berangsur angsur berkurang. Kalau pun ada tak sebesar jaman dulu karena jaman sudah berubah dan motif peperangan pun mulai dihindari.
Kepala Museum Negeri Jayapura Drs Paul Jaam yang juga seorang antropolog mengatakan kalau jaman dulu perang suku bisa terjadi karena memang belum saling mengenal tetapi sekarang ini karena perubahan sosial dan ekonomi sehingga pertikaian antar kampung mulai timbul. Ada juga perang suku yang terjadi akibat pelanggaran atas tempat sakral yang biasanya digunakan oleh penduduk sebagai tempat bertapa kepada roh leluhur atau persembahan.
Namun perang suku kembali terulang lagi, tahun 1976/1977 terjadi perang suku di Arwanop. Masalahnya adalah PT Freeport Indonesia Inc menambang gunung Yelsegel Ongopsegel (Ertsberg) dan orang Amungme di Arwanop beranggapan bahwa hal tersebut mengakibatkan murka arwah para leluhur dalam bentuk penyakit dan bencana alam sehingga banyak warga yang meninggal. Menurut mereka, keret/klen yang memiliki gunung itu yaitu Narkime dan Magal, harus bertanggung jawab. Akibatnya, dalam perang ini salah seorang tokoh keret yang dianggap nemun, yaitu Naimun Narkime terkenan panah dan hampir saja meninggal. Ia dibawa dan dirawat di Rumah Sakit Freeport di Tembagapura.
Sebenarnya dalam laporan Dr Myron Bromley seorang missionaris kepada Dr Jan Victor de Bruijn pada 8 Juni 1958 mengungkapkan bahwa kalau ”perang hendak ditekan, dan apabila memang ini tujuan pemerintah (Pemerintah Nederlands Nieuw Guinea), maka hal ini berarti hati orang Dani akan berdentang dengan kencang karena dihancurkannya kebudayaan mereka. Dan saya yakin bahwa Injil harus mengisi kekosongan jiwa ini, atau masyarakat akan kehilangan sama sekali.”
Jadi pemerintah penjajah Belanda sejak lama mencoba menghentikan perang suku di wilayah pegunungan mau pun di seluruh tanah Papua. Upaya ke arah itu selalu dijalankan tanpa meninggalkan nilai nilai asli yang terkandung di dalam budaya masyarakat Papua. Hal yang utama adalah bagaimana meningkatkan pendapatan dan ekonomi mereka sehingga sejahtera dan mampu bersaing dengan masyarakat non Papua.
Suku Amungme dan Kamoro adalah gambaran di mana bertahun tahun mereka berjuang untuk memperoleh hak hak mereka. Pemberian dana satu persen bagi suku Amungme dan Kamoro berhasil diterima selama 20 tahun. Itupun setelah terjadi korban jiwa akibat pelanggaran HAM dan laporan mantan Uskup Jayapura Mgr Herman Muninghof tahun 1998.
Lidia Beanal dalam bukunya berjudul Arti Tanah Menurut Suku Amungme mengatakan menyangkut persoalan tanah tanah adat suku Amungme sampai sekarang masih terus terjadi pergumulan bathin Pasalnya tanah tanah adat bagi suku Amungme adalah merupakan tempat tinggal dalam melakukan semua eksistensi mereka sebagai makhluk individu, sosial, religius di mana menjadi tempat mereka menikmati suka dan duka.
Terakhir justru mereka mengalami penderitaan lahir bathin karena ulah pihak luar dengan masuknya perusahaan raksasa milik Amerika Serikat, Freeport Mc Moran yang kemudian beroperasi dibawah panji PT Freeport Indonesia Coorporation. ”Ini sangat membawa korban jiwa, material dan spiritual. Mengapa demikian? Persoalannya menyangkut konsep suku Amungme terhadap tanah. Suku Amungme melihat tanah sebagai ibunya. Bagaimana perasaanmu jika kami mengambil ibumu dan kami belah payudaranya? Itulah perasaan orang Amungme sekarang,” tulis Beanal.
Selain dampak sosial timbul pula dampak lingkungan. Walau pun kedua dampak itu selalu dikaji melalui Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun pemantauan lingkungan. Toh belum mampu menjawab persoalan. Study on Molulusc Consumtion Among People Reside Around Mimika’s Estuaries sebagai gambaran di mana luapan tailing yang mendangkalkan sungai sungai dan tambelo pun mulai berubah warna kehitam-hitaman dan rasanya sudah tidak gurih lagi. Pada 1997 pemerintah Indonesia telah menyetujui Dokumen AMDAL PT FI untuk memroduksi sampai 300.000 ton bijih per hari.
Akibatnya warga Kampung Omawita di kawasan hulu sungai Mawati mengeluh bahwa telah ditemukan kasus perubahan warna tambelo menjadi bintik bintik berwarna hitam dan masyarakat semakin sulit memperoleh beberapa siput tertentu yang biasa dikonsumsi mereka. Jenis jenis Molluska yang biasanya dikonsumsi dan disukai penduduk adalah Bactronophorus thoracites(tambelo), Nerita baltetata, Nerita plasnospira, Naqueita capulina, Pugilina cochilidium dan Telecopium telescopium(siput) serta Gekoina sp(siput).
Dari segi budaya Kamoro, memakan Tambelo (Bacthronoporus thoracites dan Bankia orcutti) sangat penting dan berperan sebagai makanan pembuka dalam berbagai acara adat. Sedangkan siput (Nerita balteata, Nequeita capicana dan Telecopium telescopium) dan kerang (Archidae, Gelonia of coaxan dan Gelonia sp) berperan sebagai makanan utama dalam berbagai acara/ritual adat seperti Pesta Budaya Karapao Suku Kamoro.
Pergumulan bathin terus bergejolak sementara kawasan Mimika semakin terbuka dan menarik semua orang untuk berdatangan kesana. Baik suku suku dari Papua sendiri mau pun dari luar Papua. Studi Dampak dan Pengelolaan Urbanisasi di Kabupaten Mimika Juli-Oktober 2000 menyebutkan tingkat pertumbuhan penduduk adalah sekitar 16,9 % per tahun.
Sedangkan di sekitar Distrik Tembagapura terdapat tiga kampung masing masing Banti I sebanyak 394 orang, Kembeli 499 orang dan Opitawak 397 orang. Banti I terdiri dari 60KK dan tiga kelompok siku bahasa Amungme (53 KK), Damal (5KK) dan Moni(2 KK). Kembeli terdiri dari 99 KK dan 5 kelompok suku bahasa , Damal (51 KK), Danii (34 KK), Amungme(6KK), Moni(6KK) dan Nduga (4 orang). Opitawak terdiri dari 59 KK dan tiga kelompok suku bahasa masing masing Amungme(48KK), Moni (9KK) dan Damal (2 KK).
Kampung Kembeli menurut informasi yang diperoleh sebenarnya lahan mereka diberikan oleh klen Natkime (Amungme) di Banti sebagai hadialh balas jasa kepada sekelompok orang Damal dan Dani yang telah membantu klen Natkime ketika terlibat perang suku beberapa waktu lalu. Kembeli juga didiami oleh sejumlah anggota masyarakat suku suku Damal, Dani dan Moni yang dimukimkan di SP IX dan SP XII tetapi kembali lagi ke dataran tinggi karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan suhu yang panas dan lembab di dataran rendah. Selain itu mereka juga terserang malaria sehingga banyak yang korban atau meninggal. Lalu ada apa dibalik petikaian antara Kampung Kimbeli dan Kampung Banti?
Arkilaus Baho, Jurubicara Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Front Perpera PB) menilai konflik horizontal antara warga Kampung Banti dan Kimbeli sangat jelas berada dalam wilayah konservasi emas yang dilakukan Freeport Mc Morant Menurut Arkilaus, bentrok kelompok Dani dan Damal di kampung Banti Tembagapura bermula dari pengeroyokan aparat terhadap Peres Magai yang ditangkap aparat security FI-nasib Peres kemudian meninggal dalam Rumah Sakit Freeport Tembagapura. Pihak Keluarga Peres menuntut Freeport bertanggungjawab, yang kemudian mengarah pada mobilisasi warga yang berbuntut pada skenario perang suku sekarang.
"Keterkaitan Freeport dalam pertikaian di Tembagapura sangat disayangkan. Puluhan tahun perusahaan Amerika ini tidak membuahkan hasil kedamaian di Papua. Freeport terbukti gagal sejak menginjakkan kakinya di Papua sampai sekarang. Kejahatan korporasi harus dihentikan demi keselamatan dan kedaulatan rakyat," tegas Baho.
Dia menilai Freeport telah melakukan kejahatan ekologi, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan demokrasi. Rentetan masalah seperti penggusuran Suku Amungme dari Grasberg ke Kwamki mengakibatkan 75 persen generasi Amungme punah akibat geografis tempat tinggal berbeda.
Perlawanan suku Amungme tahun 80-an, korban berjatuhan, rentetan kekejaman militer melalui operasi-operasi khusus. Konflik antara pendulang tradisional dengan aparat Freeport terjadi tiap pekan. Agustus tahun 2006, konflik kelompok pecah kembali di Kwamki. Konflik yang terjadi akibat gesekan kepentingan tiga pihak, yaitu Freeport, elite lokal dan militer Indonesia. Namun konflik tersebut dapat teratasi ketika dua buah mobil milik PT FI ditembak di mil 69.
Apalagi menjelang Pilkada di Mimika justru mempertajam konflik elit lokal sehingga Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) dan Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro minta penundaan proses Pilkada Mimika karena khawatir pertikaian antara warga Kampung Kimbeli dan Kampung Banti di Distrik Tembagapura meluas.
“Jika situasi di Kabupaten Mimika belum aman, sangat berbahaya menyelenggarakan Pilkada di Kabupaten Mimika. Jika konflik meluas sampai di Timika, pihak yang terlibat konflik bisa semakin banyak,” kata Direktur Lemasa, Yan Onawame. (dominggus a mampioper

No comments: